St. Alfonsus Maria de Liguori
Alfonsus dilahirkan dekat Naples, Italia pada tahun
1696. Ia seorang pelajar yang giat belajar. Ia mendapatkan gelar dalam bidang
hukum dan menjadi seorang pengacara terkenal. Suatu kesalahan yang dibuatnya di
pengadilan membuat Alfonsus yakin akan apa yang telah ada dalam pikirannya: ia
harus meninggalkan pekerjaannya dan menjadi seorang imam. Ayahnya berusaha
membujuk Alfonsus agar ia mengurungkan niatnya itu. Tetapi, tekad Alfonsus
sudah bulat. Ia menjadi seorang imam.
Kehidupan Alfonsus dipenuhi dengan berbagai macam
kegiatan. Ia berkhotbah dan menulis banyak buku. Ia membentuk suatu kongregasi
rohani yang disebut “Kongregasi Pater-Pater Redemptoris” (CSsR; Redemptoris
artinya Sang Penebus). Alfonsus memberikan pengarahan rohani yang bijaksana dan
membawa damai bagi umatnya melalui Sakramen Rekonsiliasi. Ia juga menulis lagu
puji-pujian, bermain organ dan melukis. St. Alfonsus menulis enampuluh buah
buku. Ini sungguh luar biasa mengingat tugas dan tanggung jawabnya yang lain
amatlah banyak. Ia juga sering menderita sakit. Ia sering sakit kepala, tetapi
segera ia akan menempelkan sesuatu yang dingin ke dahinya dan terus tetap
bekerja.
Meskipun pada dasarnya ia mempunyai kecenderungan
untuk bersikap terburu-buru, Alfonsus berusaha untuk menguasai diri. Ia amat
rendah hati, hingga ketika pada tahun 1798 Paus Pius VI ingin mengangkatnya
menjadi seorang Uskup, dengan lembut ia mengatakan “tidak”. Ketika para utusan
paus telah datang secara pribadi untuk menyampaikan keputusan paus kepadanya,
mereka menyapa Alfonsus dengan “Tuan yang Termasyhur”. Alfonsus menjawab,
“Tolong, jangan memanggilku seperti itu lagi. Sebutan itu akan membuatku mati.”
Paus memberikan pengertian kepada Alfonsus bahwa ia sungguh menghendaki Alfonsus
menjadi seorang Uskup.
Alfonsus mengutus banyak pengkhotbah ke seluruh
wilayah keuskupannya. Umat perlu diingatkan kembali akan cinta kasih Tuhan dan
akan pentingnya iman mereka. Alfonsus berpesan kepada para imam untuk
menyampaikan khotbah yang sederhana. “Saya tidak pernah menyampaikan khotbah
yang tidak dapat dimengerti bahkan oleh nenek tua yang paling lugu yang ada di
gereja,” katanya. Dengan semakin bertambahnya usia, Alfonsus menderita berbagai
penyakit. Ia menderita radang sendi yang menyiksanya dan menjadikannya lumpuh.
Ia kehilangan pendengarannya serta nyaris buta. Ia juga harus mengalami
berbagai kekecewaan dan pencobaan. Namun, Alfonsus memiliki devosi yang amat
mendalam kepada Santa Perawan Maria, seperti yang dapat kita ketahui melalui
bukunya yang terkenal yang berjudul 'Kemuliaan
Maria'. Segala
penderitaan dan pencobaan itu berakhir dengan damai dan sukacita serta kematian
yang kudus.
Alfonsus wafat pada tahun 1787 pada usia sembilanpuluh
satu tahun. Paus Gregorius XVI menyatakannya kudus pada tahun 1839. Paus Pius
IX memberinya gelar Doktor Gereja pada tahun 1871.
“Bersama Tuhan, penebusan berlimpah.” ~
St. Alfonsus
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Eusebius dilahirkan di pulau Sardinia, Italia, sekitar
tahun 283. Kedua orangtuanya adalah orang-orang Kristen yang saleh. Menurut
tradisi, ayahnya wafat sebagai martir. Eusebius senantiasa aktif dalam
komunitas Kristiani. Ia terpanggil untuk melayani umat di Roma dan kemudian
pergi ke Italia utara, ke Vercelli. Eusebius dipilih sebagai uskup pertama
Vercelli. Uskup Eusebius dan sebagian imamnya menjalani hidup biasa seturut
gaya hidup para biarawan dalam biara. Para imamnya mendapatkan persiapan matang
untuk bertumbuh dalam kehidupan rohani. Mereka juga berlajar bagaimana
menghadapi orang-orang yang datang kepada mereka untuk mohon bimbingan. Para
imam dalam bimbingan St Eusebius menjadi pelayan-pelayan Kristus yang tekun dan
riang gembira. Banyak dari antara mereka yang di kemudian hari ditahbiskan
sebagai uskup.
Pada masa itu, bidaah Arian tersebar luas. Banyak
orang menjadi bingung dan menganggap bidaah tersebut sebagai benar. Kaisar
Konstantius juga seorang penganut bidaah Arian, ia menghendaki agar semua orang
berpihak kepadanya. Para uskup yang tidak mau tunduk padanya dibuang dari
keuskupan mereka. St Atanasius dibuang pada tahun 355.
Eusebius hadir dalam Sidang Milan yang mengutuk St Atanasius. Tetapi, Eusebius
tidak mau memberikan suaranya untuk menentang Atanasius, jadi ia disingkirkan
juga. Eusebius dibuang ke Palestina. Pada mulanya, seorang yang baik hati
memberinya tumpangan sebagai tamu terhormat di rumahnya. Tetapi, orang yang
baik ini meninggal dunia dan para penganut bidaah Arian menculik sang uskup.
Mereka menganiaya, menyeretnya di jalan-jalan, lalu mengurungnya dalam sebuah
kamar sempit empat hari lamanya. Ketika para utusan dari keuskupan Vercelli
menuntut agar uskup dibebaskan serta dikembalikan ke tempat asalnya, tuntutan
dipenuhi. Tetapi, sebentar kemudian, bapa uskup disiksa dan dianiaya kembali.
Ketika Konstantius wafat pada tahun 361, kaisar berikutnya mengijinkan para
uskup yang diasingkan untuk kembali ke keuskupan mereka.
St Eusebius adalah seorang pembela kebenaran yang gagah
berani, juga para uskup lainnya yang mengagumkan pada masa itu, seperti St
Atanasius dan St Meletius. St Eusebius diyakini sebagai salah seorang yang
memberikan sumbangan dalam persiapan “Kredo Atanasius.” Kredo ini merupakan
salah satu kredo yang sangat berharga di mana dinyatakan segala apa yang kita
yakini sebagai orang Katolik. Uskup Eusebius menghabiskan tahun-tahun terakhir
hidupnya di Vercelli, di tengah umat keuskupannya. Ia wafat pada tanggal 1
Agustus 371.
“Aku mohon pada kalian agar memelihara
iman dengan penuh waspada, mengusahakan kerukunan, bertekun dalam doa, ingatlah
aku selalu, agar kiranya Kristus menganugerahkan kebebasan kepada GerejaNya
yang menderita di seluruh penjuru dunia.” ~ St Eusebius
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Pada tahun 1811 Petrus Yulianus Eymard dilahirkan di
sebuah kota kecil yang termasuk dalam wilayah keuskupan Grenoble, Perancis.
Bersama ayahnya, Petrus bekerja membuat serta memperbaiki pisau hingga usianya
delapanbelas tahun. Waktu luangnya dipergunakannya untuk belajar. Ia belajar
sendiri bahasa Latin dan menerima bimbingan rohani dari seorang imam yang baik
hati. Petrus ingin sekali menjadi seorang imam. Ketika usianya duapuluh tahun,
Petrus memulai pelajarannya di Seminari Grenoble. Petrus Yulianus akhirnya
ditahbiskan menjadi seorang imam pada tahun 1834 dan selama lima tahun
berikutnya ia melayani di dua paroki. Umat menyadari betapa Pastor Eymard telah
menjadi berkat bagi mereka semua.
Ketika P. Eymard meminta ijin kepada Bapa Uskup untuk
menggabungkan diri dengan suatu ordo baru, yaitu Ordo Marists, Bapa Uskup
memberikan persetujuannya. P. Eymard kemudian menjadi direktur rohani bagi para
seminaris Marists. Pada tahun 1845, ia diangkat menjadi Superior (= pembesar
biara) Lyon, Perancis. Tetapi meskipun P. Eymard melaksanakan begitu banyak
tugas yang dibebankan kepadanya dengan giat sepanjang hidupnya, P. Eymard akan
selalu dikenang secara istimewa untuk sesuatu yang lain.
P. Eymard mempunyai cinta yang menyala-nyala kepada
Ekaristi Kudus. Ia amat terpesona dengan kehadiran Yesus dalam Ekaristi. Ia
suka sekali meluangkan waktu setiap hari untuk melakukan adorasi (= sembah
sujud) kepada Sakramen Mahakudus. Pada Pesta Corpus Christi, yaitu Hari Raya
Tubuh dan Darah Kristus, P. Eymard dianugerahi suatu pengalaman rohani yang
amat dahsyat. Sementara ia membawa Hosti Kudus dalam prosesi, ia merasakan
kehadiran Yesus, bagaikan suatu kehangatan dari sumber api. Hosti itu serasa
menyelebunginya dengan kasih dan cahaya. Dalam hatinya, P. Eymard berdoa kepada
Tuhan tentang kebutuhan-kebutuhan rohani dan jasmani umatnya. Ia memohon agar
kerahiman dan belas kasih Yesus menyentuh hati setiap orang seperti ia sendiri
disentuh melalui Ekaristi.
Pada tahun 1856, P. Eymard mengikuti inspirasi yang
telah didoakannya selama bertahun-tahun. Dengan persetujuan dari para
pembesarnya, P. Eymard membentuk ordo religius yang beranggotakan para imam
yang ber-adorasi kepada Ekaristi Kudus. Mereka dikenal sebagai Para Imam dari
Sakramen Mahakudus, s.s.s. Dua tahun setelah ordo para imam dibentuk, P. Eymard
membentuk ordo untuk para biarawati, Abdi Allah dari Sakramen Mahakudus. Sama
seperti para imam, para biarawati juga mempunyai cinta yang istimewa kepada Yesus
dalam Ekaristi Kudus. Para imam dan biarawati dari Sakramen Mahakudus
membaktikan hidup mereka dalam adorasi kepada Yesus. P. Eymard juga membentuk
kelompok-kelompok dalam gerejanya guna membantu umatnya mempersiapkan diri
untuk menyambut Komuni Kudusnya yang Pertama. Ia menulis beberapa buku mengenai
Ekaristi yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa. Buku-buku itu
masih beredar hingga sekarang.
P. Eymard hidup pada masa yang sama dengan seorang
kudus lainnya yang akan kita rayakan pestanya besok, tanggal 4 Agustus,
yaitu St. Yohanes Vianney. Mereka berdua bersahabat dan masing-masing saling
mengagumi yang lainnya. Pastor Vianney mengatakan bahwa Pastor Eymard adalah
seorang kudus dan ia menambahkan, “Adorasi oleh para imam! Betapa baiknya! Aku
akan berdoa setiap hari bagi karya Pastor Eymard.”
St. Petrus Yulianus Eymard melewatkan empat tahun
terakhir hidupnya dalam penderitaan hebat. Di samping penderitaan jasmani, ia
juga harus menderita karena berbagai masalah dan kecaman. Namun P. Eymard tetap
setia dalam adorasinya kepada Sakramen Mahakudus. Kesaksian hidupnya serta
pengorbanannya mendorong banyak orang lainnya untuk menjawab panggilan hidup
mereka dengan bergabung dalam ordo-ordo religius. P. Eymard wafat pada tanggal
1 Agustus 1868 dalam usia limapuluh tujuh tahun. Ia dinyatakan kudus oleh Paus
Yohanes XXIII pada tanggal 9 Desember 1962.
Sebagai orang Katolik kita mengimani
kehadiran Yesus secara sakramental dalam Ekaristi. Bagaimana iman saya tersebut
mempengaruhi hidup saya?
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Beato Petrus Faber, Pengaku Iman
Petrus Faber lahir di Villaret, Prancis pada tanggal
13 April 1506. Semasa remajanya, anak petani ini bekerja sebagai gembala.
Setelah menanjak dewasa, ayahnya mengijinkan dia belajar di sekolah setempat.
Mula-mula ia masuk di Kolose Thones, dan ketika berusia 19 tahun ia melanjutkan
studinya di Kolose Santa Barbe di Paris. Di sana ia berkenalan dengan Ignasius
Loyola dan giat mengikuti latihan-latihan rohani yang diprakarsai oleh
Igansius. Bersama Fransiskus Xaverius, Layenes, Salmeron, Rodriquez dan
Bobodilla, ia menjadi pengikut pertama cita-cita luhur Ignasius Loyola. Bersama
mereka, ia mengikrarkan kaul kemiskinan dan kemurnian pada tahun 1534. Pada
tahun itu juga ia ditabhiskan menjadi imam dan aktif dalam perjuangan membela
kebenaran, keadilan dan kesusilaan. Seturut rencana, ia bersama Ignasius
bermaksud menjadi misionaris di Tanah Suci, namun rencana itu dibatalkan karena
peperangan yang terjadi di Palestina. Sebagai gantinya, ia dikirim sebagai
misionaris ke Parma dan Piacenza, Italia. Di sana ia tidak saja berjuang
melawan ajaran-ajaran sesat yang berkembang di kalangan umat, tetapi dengan
giat memajukan semangat iman umat dan karya-karya cinta kasih. Selama beberapa
tahun ia mengajar juga di sebuah Universitas di Roma.
Sering ia ditugaskan oleh Paus Paulus III (1534-1549) untuk memadamkan api pertikaian
keagamaan antara umat Katolik dan Protestan di Jerman, Belgia dan Spanyol. Prinsipnya
yang dipegang teguh dalam melaksanakan tugas suci itu ialah "lebih penting
membaharui semangat Imam-imam dan Kaum Awam Katolik daripada berdebat dengan
orang-orang Protestan".
Sebagai seorang pengkhotbah dan pemberi retret yang
terkenal, ia sering diminta untuk berkhotbah di Speyer, Koln, Ratisbon, dan
Mainz di Jerman, dan di Louvain, Belgia. Ia lebih terkenal di wilayah Rhine,
Jerman Barat karena usahanya memperkokoh semangat iman Katolik di sana dan
karena ia berhasil membawa kembali banyak imam, uskup dan kaum bangsawan kepada
penghayatan iman yang benar. Pada tahun 1544, ia mendirikan biara Yesuit
pertama di Koln, Jerman Barat. Kecuali itu ia juga pergi ke Portugal dan
Spanyol untuk berkhotbah dan memberi bimbingan rohani kepada umat. Cara hidupnya
yang saleh itu berhasil menarik banyak sekali pemuda untuk mengikuti cita-cita
Ignasius. Di Spanyol ia berhasil menarik Fransiskus Borgia, pangeran muda dari
Gandia yang kemudian menjadi seorang pembaharu Yesuit terkemuka.
Petrus menjadi seorang Yesuit terkenal karena berhasil membawa kembali banyak orang murtad ke dalam pangkuan Gereja Katolik. Pernah ia berkata: "Barangsiapa yang mau mempertobatkan orang-orang murtad, haruslah bersahabat dengan mereka. Karena dasar kerasulan yang sejati bukanlah perselisihan dan perdebatan melainkan pengertian. Sebagai seorang ahli teologi, ia dipilih menjadi penasehat Paus Paulus III pada waktu Konsili Trente (1545-1563).
Tetapi sementara Konsili berlangsung, ia jatuh sakit.
Akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 1546 di atas pangkuan Ignasius Loyola,
Bapa sekaligus sahabatnya.Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
3 Agustus,
Santo Stefanus I, Paus dan Martir
Pria
kelahiran Roma ini menjadi Paus pada tanggal 12 Mei 254 hingga wafatnya pada
tanggal 2 Agustus 257. Kepemimpinannya atas Gereja Kristus berlangsung antara
masa pemerintahan Kaisar Decius dan Valerianus yang diwarnai dengan
penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Paus Stefanus terkenal luas karena
membela sahnya permandian yang diberikan oleh seorang bidat. Pembelaannya itu
dilancarkannya sebagai perlawanan terhadap Siprianus, Uskup Kartago bersama
Uskup-uskup Afrika dan Asia Kecil lainnya yang mengajarkan bahwa permandian
yang diberikan oleh seorang bidat tidaklah sah karena pribadi pelayanannya berada
dalam keadaan berdosa dan karena itu tidak pantas melayani sakramen. Dalam
pembelaannya Paus Stefanus menekankan bahwa rahmat Sakramen berasal dari
Kristus sendiri, bukan dari pribadi pelayannya.
Stefanus juga menghadapi masalah-masalah gerejawi di Spanyol dan Prancis. Di Spanyol, ketika Kaisar Decius melancarkan penganiayaan terhadap orang Kristen, dua orang Uskup Spanyol, yaitu Martial dan Basilides, meninggalkan Gereja. Keduanya melakukan beberapa kesalahan serius yang merugikan Gereja dan mencemarkan iman Kristiani. Persitiwa ini terjadi sewaktu Paus Lucius I (253-254) yang digantikan Stefanus, memangku jabatan sebagai Paus. Ia mendukung pemecatan yang dilakukan uskup-uskup Spanyol lainnya terhadap Martial dan Basilides. Tatkala Stefanus memangku jabatan Paus, Basilides dengan tipu daya yang licik berhasil memenangkan dukungan banyak orang untuk kembali memangku jabatannya sebagai uskup. Uskup-uskup Spanyol memprotes dan meminta bantuan Siprianus untuk mencegah hal itu.
Siprianus segera mengadakan rapat bersama Uskup Afrika lainnya untuk mempertahankan keputusan terdahulu, bahwa meskipun Martial dan Basilides sudah bertobat, namun mereka tidak boleh lagi memangku jabatan sebagai uskup. Hal ini didukung oleh Paus Stefanus, meskipun ditolak oleh Basilides. Di Prancis, Uskup-uskup Prancis memohon kepada Paus Stefanus agar memberhentikan Uskup Marsianus dari Arles, yang tidak mau menerima kembali orang-orang murtad yang sudah bertobat. Karena Paus tidak segera menanggapi permohonan itu, Uskup-uskup Prancis meminta bantuan Siprianus untuk menangani masalah ini. Tapi kemudian Paus Stefanus memecat Marsianus yang terus berpegang pada ajaran Novatian, dan menggantikannya dengan uskup lain.
Paus Stefanus dengan setia mendampingi umat dalam masa penganiayaan itu. Ia dihormati sebagai martir, meskipun bukti-bukti tentang kemartirannya tidak jelas diketahui. Beliau dikuburkan di pekuburan Santo Kallistus di Roma.Sumber : http://www.imankatolik.or.id
4 Agustus,
Yohanes Maria Vianney dilahirkan di Lyons, Perancis
pada tahun 1786. Ketika masih kanak-kanak, ia menggembalakan domba ayahnya. Ia
suka berdoa tetapi juga suka bermain. Ketika Yohanes berumur delapanbelas
tahun, ia minta ijin kepada ayahnya untuk menjadi seorang imam. Ayahnya berkeberatan
karena tenaganya dibutuhkan untuk mengerjakan pertanian keluarga. Dua tahun
kemudian ayahnya memberikan ijin. Pada usia duapuluh tahun, Yohanes belajar di
bawah bimbingan Pastor Balley. Pastor Balley seorang imam yang amat sabar,
tetapi belajar bahasa Latin merupakan kendala besar bagi Yohanes. Ia menjadi
patah semangat. Pada saat itulah ia memutuskan untuk berjalan sejauh 60 mil
(±97 km) menuju kapel St. Yohanes Fransiskus Regis, seorang kudus yang populer di
Perancis. Yohanes memohon bantuan doa St. Yohanes Regis. Setelah ziarah itu, ia
tetap saja mempunyai masalah dalam hal belajar sama seperti sebelumnya. Bedanya
ialah ia tidak lagi pernah merasa patah semangat.
Pada akhirnya Yohanes berhasil juga masuk seminari.
Belajar merupakan hal yang sulit baginya. Tidak peduli betapa giat ia berusaha,
ia tidak pernah berhasil dengan baik. Ketika ujian akhir tiba, ujian
dilaksanakan secara lisan, dan bukan secara tertulis. Yohanes harus menghadapi
suatu dewan guru dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Yohanes begitu
sedih hingga ia menangis saat ujian tengah berlangsung. Namun, karena Yohanes
seorang yang kudus, ia sepenuhnya dapat berpikir praktis sesuai pengalaman
hidupnya dan ia mengerti apa yang diajarkan Gereja dalam masalah yang diujikan
kepadanya. Ia tahu jawaban yang benar pada saat ditanyakan kepadanya apa yang
harus dilakukan dalam perkara ini atau itu. Hanya saja ia tidak dapat
mengatakan jawabannya itu dengan gaya bahasa sesuai dengan buku pedoman
berbahasa Latin yang rumit. Akhirnya Yohanes ditahbiskan juga. Ia mengerti apa
itu panggilan imamat dan kebaikan hatinya tak dapat diragukan lagi.
Yohanes diutus ke sebuah gereja kecil yang disebut
Ars. Pastor Vianney berpuasa dan melakukan silih yang berat demi umatnya. Ia
berusaha keras agar mereka berhenti berbuat dosa. Mereka mabuk-mabukan, bekerja
sepanjang hari pada hari Minggu, dan tidak pernah pergi ke gereja. Sebagian
besar dari mereka menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Pada akhirnya,
kedai-kedai minum mulai tutup satu demi satu karena usaha mereka menurun. Orang
mulai berdoa secara rutin setiap hari Minggu dan ambil bagian dalam Misa
harian. Sumpah serapah tidak lagi sering diucapkan. Apa yang telah terjadi di
Ars? “Pastor kita adalah seorang kudus,” kata mereka, “dan kita wajib taat
kepadanya.”
Tuhan memberi Yohanes karunia untuk membaca pikiran
orang serta mengetahui masa depan. Karena karunia tersebut, ia mempertobatkan
banyak pendosa dan membantu umat menentukan keputusan-keputusan yang tepat.
Orang banyak mulai berdatangan ke Ars. Kadang-kadang, ratusan orang dalam satu
hari. St. Yohanes Vianney menggunakan dua belas hingga enam belas jam sehari
untuk mendengarkan pengakuan mereka. Yohanes amat berharap dapat menghabiskan
sisa hidupnya di sebuah biara. Yang terjadi malahan, ia tinggal selama
empatpuluh dua tahun di Ars dan wafat di sana pada tahun 1859 pada usia
tujuhpuluh tiga tahun. St. Yohanes Vianney dinyatakan kudus pada tahun 1925
oleh Paus Pius XI.
“Doa
pribadi bagaikan jerami yang tercecer di sana sini; jika kamu membakarnya, akan
menghasilkan tebaran api kecil-kecil. Tetapi, kumpulkan jerami-jerami itu
menjadi satu berkas dan bakarlah, maka kamu akan mendapatkan suatu nyala api
yang besar, berkobar bagaikan pancang ke angkasa; doa bersama seperti itu.” ~
St. Yohanes Maria Vianney
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
B. Frederik Jannssone
Beato Frederik Janssoone dilahirkan di Flanders pada
tahun 1838. Ada banyak perubahan menarik dalam hidupnya, yang bukanlah cara
hidup biasa abad kesembilanbelas. Frederik dilahirkan dalam sebuah keluarga
petani yang kaya, sebagai yang bungsu dari tigabelas saudara. Ia baru berusia
sembilan tahun ketika ayahnya meninggal dunia, sebab itu ia harus meninggalkan
bangku sekolah untuk membantu ibunya. Segera saja ia menyadari bahwa ia
mempunyai “keahlian” dalam berjualan. Ia suka bertemu dengan kenalan-kenalan
baru dan ia tahu bagaimana menjelaskan produknya.
Ibu Frederik meninggal dunia pada tahun 1861. Itulah
saat ketika pemuda berusia duapuluh tiga tahun ini sampai pada ketetapan
hatinya dalam mencari panggilan hidupnya. Ia sadar bahwa ia merasakan suatu
kerinduan yang kuat untuk menggabungkan diri dalam Ordo Fransiskan. Setelah
masa belajarnya di seminari usai, Frederik ditahbiskan sebagai seorang imam
Fransiskan. Ia menjadi pastor bagi pasukan militer untuk beberapa waktu
lamanya.
Kemudian pada tahun 1876, ia diutus ke Tanah Suci.
Pater Frederik mewartakan Injil di tempat-tempat yang dikuduskan oleh Yesus
Sendiri. Ia mempergunakan bakat dan talentanya untuk membantu berbagai kelompok
Kristiani agar saling bekerjasama dalam merawat dua gereja kudus. Ia mendirikan
sebuah gereja di Betlehem. Beato Frederik juga dikenang karena menghidupkan
kembali kebiasaan kuno melakukan ziarah Jalan Salib menyusuri jalanan
Yerusalem.
Pelayanan Pater Frederik di Kanada dimulai ketika ia
ditugaskan ke sana pada tahun 1881. Ia diutus dalam suatu perjalanan untuk
mengumpulkan dana. Bakatnya yang bermacam-macam amat berguna dalam pelayanannya.
Semangat sukacita dalam memberikan dirinya segera menjadikannya dicintai orang
banyak. Khotbah dan ceramahnya penuh dengan fakta-fakta menarik mengenai Tanah
Suci. Ia melihat ke dalam wajah dan hati umat dan berdoa agar mereka bertumbuh
dalam kekayaan rahmat Tuhan. Pada tahun 1888, ia kembali ke Kanada untuk
menetap dan menghabiskan sisa hidupnya di sana.
Pater Frederik Janssoone adalah seorang pribadi yang
menarik dan seorang penulis yang piawai. Ia menulis beberapa artikel dan
riwayat hidup para kudus. Tulisan-tulisan itu mengingatkan orang akan
antusiasme yang memenuhi jiwanya sendiri. Karya-karyanya merefleksikan sukacita
Yesus yang dengan sangat sukahati ia bagikan kepada yang lain. Pater Frederik
wafat pada tanggal 4 Agustus 1916. Ia dimaklumkan sebagai “beato” pada tahun
1988 oleh Paus Yohanes Paulus II.
Bakat
dan talenta didayagunakan sebaik-baiknya oleh Beato Frederik demi mewartakan
Injil di tempat-tempat ke mana ia pergi. Adakah aku mempergunakan bakat dan
talentaku demi kebaikan sesama?
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Pesta Tabhisan Basilika Santa Perawan Maria di Roma
Pada abad ke-4 sewaktu Paus Liberius (352-366)
memegang pucuk pimpinan Gereja Kristus, ia merobah dan menjadikan sebuah rumah
di bukit Eskuilina menjadi tempat ibadat bagi umat. Gereja ini kemudian
dinamakan Basilika Liberiana. Pada abad berikutnya gereja ini diperluas oleh
Paus Sixtus III (432-440) dan disebut Basilika Santa Maria Maggiore.
Menurut cerita tindakan Paus Liberius ini didasarkan pada suatu peristiwa penampakan Bunda Maria di halaman rumah itu. Bulan Agustus adalah bulan terpanas di Roma. Pada suatu ketika, dalam bulan itu, halaman rumah itu berselimutkan salju. Tiba-tiba Bunda Maria menampakkan dirinya kepada dua orang saleh yang menghuni rumah itu dan meminta supaya di atas tanah yang bersalju itu dibangun sebuah gereja. Oleh karena itu, gereja itu kemudian lazim juga disebut Basilika Bunda Maria di Salju.
Santa Ia, Martir
Ia seringkali didera karena usahanya menobatkan banyak
orang kafir ketika meringkuk di dalam penjara. Semua penderitaannya itu tak
pernah mampu memadamkan semangatnya untuk mewartakan Kristus. Oleh karena itu
akhirnya ia dihukum mati pada masa pemerintahan Schapur II, Raja Persia.
Santa Nonna, Pengaku Iman
Ibu Santo Gregorius Muda ini berhasil mengkristenkan
suaminya, Santo Gregorius Tua dari Nazianz. Nonna terkenal sebagai seorang ibu
yang beriman dan penuh semangat pengabdian kepada anak-anaknya dan kepada
Tuhan.
Sumber : http://www.imankatolik.or.id
6 Agustus,
Yesus menampakkan KemuliaanNya
Gunung Tabor disebut
Gunung Kemuliaan karena di atas gunung itulah Yesus menampakkan KemulianNya
kepada Petrus, Yohanes dan Yakobus. Di depan mata ketiga rasul itu, Yesus
berubah: "...WajahNya bercahaya seperti matahari dan pakaianNya menjadi
putih bersinar seperti terang" (Mat17:2). Kemuliaan Yesus sebagai Putera
Allah itu diperkuat oleh kehadiran dua orang nabi besar Perjanjian Lama, Musa
dan Elia.
Transfigurasi atau perubahan rupa Yesus dimaksudkan untuk meneguhkan hati ketiga rasul inti itu agar mereka tidak goyah imannya apabila menyaksikan kesengsaraan Yesus nanti. Tranfigurasi ini pun menjadi tonggak penghiburan bagi para rasul di saat-saat mereka mengalami kesengsaraan dan kesulitan dan menjadi jaminan kemuliaan dan kebahagiaan yang akan mereka alami di surga, sebagaimana telah dijanjikan Yesus: "Pada waktu itu orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerjaan Bapa mereka...."(Mat13:43).
Kebahagiaan terbesar yang dialami para Rasul di atas gunung itu menjadi tanda kepada kita tentang kebahagiaan surgawi yang akan dianugerahkan Allah kepada semua orang beriman. Santo Paulus melukiskan kebahagiaan itu dengan berkata: "Apa yang tidak dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia" (1Kor2:9). Pesta ini sudah jauh lebih dahulu dirayakan di kalangan Gereja Timur. Sedangkan untuk seluruh Gereja di seantero dunia, pesta ini baru ditetapkan perayaannya secara resmi pada tahun 1457, untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan atas kemenangan Pasukan Kristen terhadap serangan tentara Turki di Belgrado.
Santo Herman(us), Pengaku Iman
Herman(us) yang lahir pada tahun
1110 adalah seorang berkebangsaan Yahudi. Ia dipermandikan pada usia 21 tahun
di kota Koln, Jerman Barat. Kemudian ia menjadi biarawan dan pemimpin biara
yang baik. Ia meninggal dunia pada tahun 1173.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
St. Sixtus II
Para kaisar Romawi yang menganiaya orang-orang Kristen
berusaha untuk memusnahkan kepercayaan kepada Yesus dan agama yang mereka benci
sekaligus mereka takuti. Meskipun mereka tidak menyadarinya, namun sesungguhnya
setiap kali mereka membunuh seorang kudus, mereka semakin memperkuat keyakinan
orang-orang Kristen. Dari penganiayaan bangsa Romawi yang banyak menumpahkan
darah itu, muncullah para martir. Persembahan para martir kepada Yesus yaitu
kesetiaan mereka, bahkan hingga rela mengurbankan nyawa, mendatangkan berkat
bagi Gereja hingga akhir jaman.
Penganiayaan oleh Kaisar Valerian mengakibatkan
kemartiran Paus St. Sixtus II dan keenam diakonnya pada hari yang sama.
Penganiayaan dilakukan dengan amat kejam. Banyak orang dari komunitas Kristiani
bersembunyi dalam katakomba-katakomba bawah tanah. Mereka ambil bagian dalam
Perayaan Misa dan saling menguatkan satu sama lainnya. Sixtus, seorang imam
Roma, diangkat menjadi Paus pada tahun 257. Pada tahun yang sama penganiayaan
oleh Kaisar Valerian dimulai. Paus Sixtus maju terus dengan berani selama satu
tahun, sebagian besar dengan bersembunyi, dan meneguhkan umat Kristen. Dengan
kebijaksanaan serta kelemahlembutannya, ia bahkan menyelesaikan masalah-masalah
tentang iman Kristiani.
Pada tanggal 6 Agustus 258, para prajurit Romawi
menerjang masuk suatu ruangan dalam katakomba di mana Sixtus sedang duduk
dengan tenang. Ia sedang menyampaikan khotbahnya tentang cinta kasih dan
pengampunan Yesus. Sebagian orang mengatakan bahwa ia langsung dibunuh di
tempat itu, di atas kursinya, bersama dengan empat orang dari keenam diakonnya.
Sebagian lagi mengatakan bahwa ia dan para diakonnya dibawa pergi untuk
diadili. Kemudian mereka dibawa kembali ke ruangan yang sama dan dibunuh. Dua
diakon lainnya dibunuh juga beberapa saat kemudian pada hari yang sama.
Seabad sesudah peristiwa tersebut, Paus St. Damasus
menuliskan sebuah prasasti yang indah di makam St. Sixtus yang terletak dalam
katakomba St. Kalistus di Roma. St. Sixtus II amat dihargai oleh umat
Kristen perdana dan namanya termasuk dalam daftar orang kudus yang dicantumkan
dalam Doa Syukur Agung Pertama.
Kita dapat mohon bantuan doa St. Sixtus II agar kita
dapat menghargai karunia iman kita dan tumbuh dalam kasih kepada Yesus. Ketika
kita takut berdiri tegak menghadapi apa yang Yesus kehendaki dari kita, kita
dapat mohon bantuan doa St. Sixtus dan para diakonnya agar kita dikuatkan.
Pada hari ini, mari mohon bantuan doa St. Sixtus dan
para diakonnya
bagi
para imam Gereja.
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas
ijin Pauline Books & Media.”
Kayetanus dilahirkan di Vicenza, Italia, pada tahun
1480, sebagai putera seorang bangsawan. Ia menyelesaikan studinya di
Universitas Padua dalam bidang hukum. Kemudian, ia bekerja di kantor kepausan
di Roma. Kayetanus ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1516. Ia kembali ke
Vicenza, kota asalnya. Walau sanak-saudaranya yang kaya menentang, Kayetanus
menggabungkan diri dengan sekelompok lelaki yang sederhana dan bersahaja, yang
membaktikan hidup mereka untuk menolong orang-orang yang sakit dan yang miskin
papa. St Kayetanus biasa menjelajahi seluruh penjuru kota guna mencari mereka
yang malang dan melayani mereka dengan tangan-tangannya sendiri. Ia membantu
pula di rumah sakit merawat pasien-pasien dengan penyakit-penyakit yang paling
menjijikkan. Di kota-kota lain juga ia melakukan karya belas kasih yang sama.
St Kayetanus senantiasa mendorong semua orang untuk
menyambut Komuni Kudus sesering mungkin. “Aku tak akan bahagia,” katanya,
“hingga aku melihat umat Kristiani berduyun-duyun menyambut Roti Hidup dengan
antusias dan penuh sukacita, bukan dengan takut-takut ataupun malu.” Bersama
tiga orang kudus lainnya, St Kayetanus mendirikan suatu ordo religius bagi para
imam yang disebut “Theatines”. Ordo mereka membaktikan diri dengan menyampaikan
khotbah kepada sebanyak mungkin orang. Mereka mendorong umat untuk sesering
mungkin menerima Sakramen Tobat dan menyambut Komuni Kudus; mereka merawat
orang-orang sakit dan melakukan karya-karya belas kasih lainnya.
Kayetanus wafat dalam usia enampuluh tujuh tahun.
Dalam sakitnya yang terakhir, ia membaringkan diri di atas papan-papan yang
keras, meskipun dokter berulangkali menasehatinya untuk tidur di atas kasur
yang lebih empuk. “Jururselamat-ku wafat di kayu salib,” katanya. “Biarkan aku,
setidak-tidaknya mati di atas papan kayu.” Kayetanus wafat pada tanggal 7
Agustus 1547 di Naples. Ia dinyatakan kudus oleh Paus Klemens X pada tahun
1671.
“Walau segenap para kudus dan segala makhluk
meninggalkan engkau, Ia akan senantiasa mendampingimu, apapun yang engkau
butuhkan.” ~ St Kayetanus
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
Santa Afra, Martir
Afra menjalani kehidupannya di
Augsburg, Jerman Barat sekitar tahun 300. Ia dikenal sebagai seorang bekas
pelacur yang bertobat dan menjadi wanita Kristen yang giat dan penuh semangat
dalam penghayatan iman Kristen. Bagi kita, Afra memberikan suatu teladan tobat
yang luar biasa dan kepercayaan penuh akan kerahiman Tuhan.
Keinsyafannya akan keberdosaan dirinya hingga ia bertobat didorong oleh kesaksian saudara-saudaranya seiman sewaktu dianiaya karena imannya. Semua harta miliknya yang diperoleh dengan cara aib itu dibagi-bagikannya kepada orang-orang miskin dengan penuh ketulusan. Kecuali itu ia bahkan menjadi seorang wanita Kristen yang giat dalam menghayati imannya.
Kegiatan-kegiatannya menyebabkan dia kemudian ditangkap dan dipaksa mempersembahkan kurban bakaran kepada dewa-dewa kafir. Kepada hakim yang memaksanya untuk membawakan kurban itu, Afra dengan tegas berkata: "Hidup masa laluku memang tidaklah baik menurut iman Kristiani, namun sekarang aku mau menjalani hidupku sebagai seorang Kristen sejati. Aku berani mencuci dosa-dosaku dengan daraku sendiri". Hakim itu coba membujuknya dengan berdalih bahwa ia sendiri seorang Kristen yang berusaha membantu menyelamatkannya dari bahaya pembunuhan. "Bagaimana engkau tahu bahwa engkau sudah diterima dan diampuni oleh Tuhanmu?", tanya hakim itu. Kata Afra: "Aku tahu karena aku sekarang diperkenankan memberikan kesaksian atas imanku di hadapan orang banyak."
Keberanian menentang hakim mengakibatkan dia dihukum mati. Ia diikat dan dibawa ke sebuah pulau kecil di tengah Sungai Lech, dan disana ia dibakar hidup-hidup oleh para algojo. Sementara api menjilat tubuhnya yang suci itu, ia berdoa dengan nyaring: "Tuhan Yesus, terimalah tapa sengsaraku ini dan selamatkanlah aku demi api ini dari api sengsara yang kekal." Afra meninggal pada tahun 340. Ibunya bersama tiga orang pelayannya memungut sisa-sisa tulangnya dan memakamkannya dengan penuh hormat.
Karena hal ini kemudian diketahui oleh para penguasa, ibunya dan tiga orang pelayan itu ditangkap dan dibunuh juga.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
St. Dominikus.
Dominikus dilahirkan di Castile, Spanyol pada tahun
1170. Ia adalah putera keluarga Guzman. Ibundanya adalah Beata Yoana dari Aza.
Ketika Dominikus berusia tujuh tahun, ia mulai bersekolah. Pamannya, seorang
imam, membimbingnya dalam pelajaran. Setelah beberapa tahun lamanya belajar,
Dominikus menjadi seorang imam juga. Ia hidup dengan tenang dalam doa dan
ketaatan bersama para imam lainnya. Tetapi Tuhan mempunyai rencana yang indah
bagi Dominikus. Ia dipanggil untuk mendirikan suatu ordo religius yang baru.
Ordo tersebut diberi nama Ordo Praedicatorum (OP = Ordo Para Pengkhotbah) atau
“Ordo Santo Dominikus”, sesuai namanya.
Para imam Dominikan berkhotbah tentang iman. Mereka
berusaha meluruskan kembali ajaran-ajaran sesat yang disebut bidaah. Semuanya
itu bermula ketika Dominikus sedang dalam perjalanan melewati Perancis Selatan.
Ia melihat bahwa bidaah Albigensia telah amat membahayakan orang banyak.
Dominikus merasa berbelas kasihan kepada mereka yang bergabung dengan bidaah
sesat tersebut. Ia berusaha menyelamatkan mereka. Para imam Dominikan pada
akhirnya berhasil mengalahkan bidaah yang amat berbahaya tersebut dengan doa,
teristimewa dengan Doa Rosario. Dominikus juga mendorong umatnya untuk
bersikap rendah hati dan melakukan silih. Suatu ketika seseorang bertanya
kepada St Dominikus buku apakah yang ia pergunakan untuk mempersiapkan
khotbah-khotbahnya yang mengagumkan itu. “Satu-satunya buku yang aku pergunakan
adalah buku cinta,” katanya. Ia selalu berdoa agar dirinya dipenuhi cinta kasih
kepada sesama. Dominikus mendesak para imam Dominikan untuk membaktikan diri
pada pendalaman Kitab Suci dan doa. Tidak seorang pun pernah melakukannya lebih
dari St. Dominikus dan para pengkhotbahnya dalam menyebarluaskan devosi Rosario
yang indah.
St. Dominikus seorang pengkhotbah ulung,
sementara St. Fransiskus dari Assisi seorang imam miskin yang rendah hati. Mereka berdua bersahabat erat.
Kedua ordo mereka yaitu Dominikan dan Fransiskan membantu umat Kristiani hidup
lebih kudus. Para imam Dominikan mendirikan biara-biara di Paris - Perancis,
Madrid - Spanyol, Roma dan Bologna - Italia. Semasa hidupnya Dominikus juga
melihat ordo yang didirikannya berkembang hingga ke Polandia, Skandinavia dan
Palestina. Para imam Dominikan juga pergi ke Canterbury - London, dan Oxford
di Inggris.
St. Dominikus wafat di Bologna pada tanggal 7 Agustus
1221. Sahabat dekatnya, Kardinal Ugolino dari Venisia kelak menjadi Paus
Gregorius IX. Ia menyatakan Dominikus sebagai orang kudus pada tahun 1234.
Injil
Yesus Kristus adalah buku cinta.
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Santo Siriakus, Largus dan
Smaragdus, Martir
Siriakus adalah seorang diakon di
kota Roma. Ia ditugaskan melayani orang-orang miskin dan orang-orang serani
yang dihukum kerja paksa. Dalam melaksanakan tugas ini, ia dibantu oleh dua orang
rekannya, Largus dan Smaragdus. Pada suatu hari mereka ditangkap dan
dipenjarakan. Tetapi kemudian mereka dilepaskan lagi karena Siriakus
menyebuhkan anak Kaisar Diokletianus.
Ketika Kaisar Maksimianus naik tahkta, Siriakus dengan kedua temannya ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman mati karena tidak besedia meninggalkan imannya. Jenazah mereka dikuburkan di pinggir jalan ke Ostia.
Santo Hormisdas, Martir
Pada masa kejayaan Kerajaan Sasanid
di Persia selama 4 abad, seni dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan dan
kemajuan yang luar biasa. Demikian juga agama yang dijadikan agama nasional
yang sangat berkembang, sedangkan agama Kristen dihambat sedapat mungkin. Pada
abad ketiga, Raja Bahram mengalahkan Chosroes II dan dengan kejam melancarkan
penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Raja ini suka mengorbankan manusia.
Untuk itu ia tidak segan-segan memilih korbannya di antara orang-orang Kristen.
Hormisdas menjadi salah satu orang pilihan untuk dijadikan korban persembahan.
Ia adalah bangsawan turunan raja dari dinasti Achemenid. Sesudah disuruh datang ke istana, ia dipaksa meninggalkan imannya dan memeluk agama nasional. Sebagai seorang pangeran yang berani, Hormisdas menjawab: "Jikalau aku lakukan apa yang engkau perintahkan, maka aku menghina Tuhanku dan melanggar hukumNya. Siapa pun saja yang tidak mematuhi perintah-perintah Tuhan, tentu saja kesetiaannya kepada raja akan kendor, karena raja adalah seorang manusia biasa. Jika orang yang melanggar perintah raja dijatuhi hukuman mati, bagaimana nasib manusia yang berani melawan Allah?"
Mendengar kata-kata Hormisdas ini, raja naik darah dan menyuruh membelenggu Hormisdas. Harta miliknya disita. Ia ditugaskan menjaga kuda-kuda perang dan membersihkan kadang kuda itu. Meskipun mengalami penderitaan hebat, Hormisdas tidak bersedia menyangkali imannya. Oleh karena itu, ia dihukum mati.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
B. Yohanes dari Rieti
Beato Yohanes hidup pada awal pertengahan abad
keempatbelas. Ia mempunyai seorang saudari yang juga kudus, yaitu Beata Lusia
dari Amelia. Mereka adalah putera-puteri keluarga Bufalari dari wilayah Umbria,
Italia. Yohanes merasakan panggilan kepada hidup religius. Ia tertarik pada
Ordo St Agustinus dan ingin menjadi seorang broeder. Yohanes diterima masuk ke
dalam ordo dan segera merasa kerasan di sana. Ia senang berdoa dan bermeditasi
mengenai Yesus, Maria dan para kudus. Ia belajar bagaimana berbicara kepada
Tuhan, Bapa-nya, dan teristimewa ia berusaha mendapatkan kesempatan untuk ikut
melayani dalam Misa. Orang banyak dari kota-kota terdekat datang untuk ikut
ambil bagian dalam Misa di Gereja St Agustinian. Mereka memperhatikan seorang
broeder yang senantiasa ada di sana. Ia begitu damai dan lemah lembut. Broeder
Yohanes senantiasa menyongsong kedatangan mereka. Ia membuat mereka serasa di
rumah.
Apabila orang-orang datang ke biara untuk mendapatkan
pertolongan, Broeder Yohanes ada di sana menyalami dan menyambut mereka. Bagi
mereka yang tinggal bermalam, ia akan membawa mereka ke kamar-kamar tamu dan
melayani mereka. Ia akan memastikan bahwa mereka mendapatkan makanan,
obat-obatan dan segala yang lain yang dapat diberikan biara. Tahun-tahun
berlalu. Broeder Yohanes melewatkan kehidupan religiusnya seturut irama jam-jam
yang berlalu. Ia teguh dan mantap. Broeder Yohanes tetap penuh sukacita dalam
panggilan hidupnya hingga wafatnya pada tahun 1350. Siapapun yang pernah datang
ke biara tak heran ketika mukjizat-mukjizat mulai dilaporkan terjadi di
makamnya. Broeder Yohanes tak akan membiarkan kematian menghentikannya dari
melakukan pewartaan bagi Yesus.
Dengan
mengamalkan panggilan hidup Kristiani kita dengan sebaik-baiknya, kita
menghadirkan Kristus ke dalam dunia.
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Santo Oswaldus, Martir
Putera raja Northumbria ini
mengungsi ke biara Hay setelah ayahnya gugur dalam suatu pemberontakan. Ia
dibaptis dan beberapa waktu kemudian berhasil merebut kembali kerajaan, bahkan
memperluasnya. Dengan bantuan Santo Aidan ia mengkristenkan rakyatnya. Oswaldus
gugur dalam suatu serangan dari seorang raja kafir. Santo Oswin menggantikannya
sebagai raja dan misionaris. Akan tetapi ia pun kemudian dibunuh oleh Raja
Osway.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
10 Agustus,
Santo Laurensius, Martir
Laurensius termasuk salah satu dari
ketujuh diakon agung yang bekerja membantu Sri Paus di Roma. Oleh Paus Sixtus
II (257-258), Laurensius ditugaskan mengurus harta kekayaan Gereja dan
membagi-bagikan derma kepada para fakir miskin di seluruh kota Roma. Ia juga
melayani Sri Paus dalam setiap upacara keagamaan. Ketika Sri Paus Sixtus II
ditangkap oleh serdadu-serdadu Romawi, Laurensius bertekad menemani dia sampai
kematiannya. Kepada Paus, ia berkata: "Aku akan menyertaimu kemana saja
engkau pergi. Tidaklah pantas seorang imam agung Kristus pergi tanpa didampingi
diakonnya." Sixtus terharu mendengar kata-kata Laurensius itu. Lalu ia
berkata: "Janganlah sedih dan menangis, anakku! Aku tidak sendirian.
Kristus menyertai aku. Dan engkau, tiga hari lagi, engkau akan mengikuti aku ke
dalam kemuliaan surgawi".
Ramalan Sixtus itu ternyata benar-benar terjadi. Prefek kota Roma, yang tahu bahwa Gereja mempunyai sejumlah besar kekayaan, mendapat laporan bahwa Laurensius-lah yang mengurus semua kekayaan itu. Karena itu, Laurensius dihadapkan kepada penguasa Roma itu. Laurensius dibujuk agar secepatnya menyerahkan semua kekayaan Gereja itu kepada penguasa Roma. Dengan tenang Laurensius menjawab: "Baiklah, tuan! Dalam waktu tiga hari akan kuserahkan semua kekayaan ini kepadamu". Laurensius dibiarkan kembali ke kediamannya.
Ia segera mengumpulkan orang-orang miskin dan membagi-bagikan kekayaan Gereja kepada mereka. Di bawah pimpinannya, orang-orang miskin itu berarak menuju kediaman Prefek Roma. Kepada penguasa Roma itu, Laurensius berkata: "Tuanku, inilah harta kekayaan Gereja yang saya jaga. Terimalah dan periharalah mereka dengan sebaik-baiknya."Tindakan dan kata-kata Laurensius ini dianggap sebagai suatu olokan dan penghinaan terhadap penguasa Roma. Karena itu, ia ditangkap dan dipanggang hidup-hidup di atas terali besi yang panas membara. Laurensius tidak gentar sedikitpun menghadapi hukuman ini. Setelah separuh badannya bagian bawah hangus terbakar, ia meminta supaya badannya dibalik sehingga seluruhnya bisa hangus terbakar. "Sebelah bawah sudah hangus, baliklah badanku agar seluruhnya hangus!" katanya dengan sinis kepada para algojo yang menyiksanya. Laurensius akhirnya menghembuskan nafasnya di atas pemanggangan itu sebagai sekorang ksatria Kristus.
Kisah kemartirannya kita ketahui dari tulisan-tulisan Santo Agustinus. Di sana dikatakan bahwa orang-orang yang berdoa dengan perantaraan Laurensius terkabul doanya. "Karunia-karunia kecil diberikan kepada orang-orang yang berdoa dengan perantaraan Laurensius supaya mereka terdorong untuk memohon karunia yang lebih besar, yaitu cinta kasih kepada sesama dan kesetiaan kepada Kristus" demikian kata Santo Agustinus dalam salah satu tulisannya.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
St. Klara dari Assisi
Klara dilahirkan sekitar tahun 1193 di Assisi, Italia.
Ia hidup pada jaman St. Fransiskus dari Assisi. Klara menjadi pendiri suatu ordo
religius para biarawati yang disebut “Ordo Santa Klara (Klaris), OSCl” Ketika
Klara berusia delapan belas tahun, ia mendengarkan khotbah St. Fransiskus.
Hatinya berkobar dengan suatu hasrat yang kuat untuk meneladaninya. Ia juga
ingin hidup miskin serta rendah hati demi Yesus. Jadi suatu malam, ia melarikan
diri dari rumahnya. Di sebuah kapel kecil di luar kota Assisi, Klara
mempersembahkan dirinya kepada Tuhan. St. Fransiskus menggunting rambutnya dan
memberinya sehelai jubah coklat kasar untuk dikenakannya. Untuk sementara
waktu, Klara tinggal bersama para biarawati Benediktin hingga biarawati lainnya
bergabung dengannya. Orangtua Klara mengupayakan segala usaha untuk membawanya
pulang ke rumah, tetapi Klara tidak mau kembali. Tak lama kemudian Agnes,
adiknya yang berusia lima belas tahun, bergabung dengannya. Para gadis yang
lain pun ingin pula menjadi pengantin Kristus. Jadi, sebentar saja sudah
terbentuklah suatu komunitas religius kecil.
St. Klara dan para biarawatinya tidak mengenakan
sepatu. Mereka tidak pernah makan daging. Mereka tinggal di sebuah rumah
sederhana dan tidak berbicara hampir sepanjang waktu. Namun demikian, para
biarawati itu amat bahagia karena mereka merasa Yesus dekat dengan mereka.
Suatu ketika sepasukan tentara yang beringas datang untuk menyerang Assisi.
Mereka telah merencanakan untuk menyerang biara terlebih dahulu. Meskipun
sedang sakit parah, St. Klara minta untuk dibopong ke altar. Ia menempatkan
Sakramen Mahakudus di tempat di mana para prajurit dapat melihat-Nya. Kemudian
Klara berlutut serta memohon kepada Tuhan untuk menyelamatkan para biarawati.
“Ya Tuhan, sudilah melindungi para biarawati yang saat ini tidak dapat aku
lindungi,” doanya. Suatu suara dari hatinya terdengar berbicara: “Aku akan
selalu menempatkan mereka dalam perlindungan-Ku.” Bersamaan dengan itu, suatu
kegentaran hebat meliputi para prajurit dan mereka segera lari pontang-panting.
St. Klara menjadi priorin (=pemimpin) di biaranya
selama empatpuluh tahun. Duapuluh sembilan tahun dari masa itu dilewatkannya
dengan menderita sakit. Meskipun demikian, St. Klara mengatakan bahwa ia penuh
sukacita sebab ia melayani Tuhan. Sebagian orang khawatir para biarawati
tersebut menderita sebab mereka teramat miskin. “Kata mereka kita ini terlalu
miskin, tetapi dapatkah suatu hati yang memiliki Allah yang Mahakuasa
sungguh-sungguh miskin?” St. Klara wafat pada tanggal 11 Agustus 1253. Hanya
dua tahun kemudian ia dinyatakan kudus oleh Paus Alexander IV.
“Pergilah
dalam damai; engkau telah mengikuti jalan yang benar; pergilah dengan penuh
keyakinan, sebab Pencipta-mu telah menguduskanmu, telah memeliharamu
terus-menerus, dan telah mengasihimu dengan segala kelembutan bagaikan seorang
ibu terhadap anaknya. Oh Tuhan, terberkatilah Engkau karena telah menciptakan
aku.” ~ St. Klara
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Santa Susana, Martir
Susana yang jelita dan kaya ini
dipenggal kepalanya oleh prajurit-prajurit Kaisar Diokletianus karena menolak
kawin dengan putera kaisar itu. Lamaran putera kaisar itu ditolak karena dia
masih kafir. Walaupun kaisar membujuk dan mengancam, namun Susana tetap tidak
menyerah. Akhirnya dia dibunuh oleh dua imam kafir pada tahun 295.
Sumber : http://www.imankatolik.or.id
St. Yohana Fransiska de Chantal
Yohana dilahirkan di Dijon, Perancis pada tahun 1572.
Ayahnya seorang yang saleh. Ia mengasuh anak-anaknya dengan baik setelah
kematian isterinya. Yohana, yang amat dikasihinya, menikah dengan Christopher,
Baron de Chantal. Yohana dan Christopher saling mengasihi. Tuhan mengaruniakan
enam anak kepada mereka, empat yang bertahan hidup. Yohana menunjukkan kasihnya
kepada Tuhan dengan mengasihi suami serta anak-anaknya dengan segenap hati.
Kemudian, tiba-tiba saja, suatu kemalangan besar menimpa keluarga bahagia
tersebut. Baron Christopher secara tak sengaja tertembak oleh seorang teman
yang pergi berburu bersamanya. Ketika suaminya meninggal, Yohana teramat sedih.
Ia mengampuni orang yang menyebabkan kematian suaminya itu dan bahkan menjadi
ibu baptis bagi anaknya.
St. Yohana memohon kepada Tuhan agar memberinya
seorang imam yang kudus untuk membimbingnya. Sementara itu, ia berdoa dan
membesarkan anak-anaknya dalam kasih Tuhan. Ia mengunjungi orang-orang miskin,
orang-orang sakit serta menghibur mereka yang diambang ajal. Ketika ia berjumpa
dengan St. Fransiskus de Sales, ia segera mengetahui bahwa orang ini adalah
orang kudus yang diutus Tuhan untuk membimbingnya.
Sesuai petunjuk St. Fransiskus, Yohana bersama tiga
wanita muda lainnya mendirikan Serikat Visitasi. Tetapi terlebih dahulu ia
harus memastikan bahwa anak-anaknya, meskipun sudah dewasa, telah mandiri.
Yohana juga mempunyai tanggung jawab serta tantangan-tantangan yang harus
dihadapinya pula. Namun, Yohana tetap berusaha untuk melakukan kehendak Tuhan
baginya, bagaimana pun sulitnya.
St. Yohana seorang yang tabah dalam menghadapi segala
macam tantangan. Ia mendirikan banyak biara sambil berjuang melawan
pencobaan-pencobaannya. “Meskipun banyak penderitaannya,” tulis St. Vincensius
de Paul, “wajahnya selalu memanancarkan kedamaian. Dan ia selalu setia kepada
Tuhan. Jadi aku pikir dia adalah salah satu di antara jiwa-jiwa paling kudus
yang pernah aku jumpai.”
St. Yohana wafat pada tanggal 13 Desember 1641. Ia
dinyatakan kudus oleh Paus Klemens XIII pada tahun 1767.
St.
Yohana terbuka pada ilham Roh Kudus dalam hidupnya.
Bagaimana
jika aku membuka diri untuk lebih bebas melakukan perbuatan belas kasih dalam
hidupku?
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
St. Porkarius dan kawan-kawan.
Pada abad kelima, suatu biara besar bagi para biarawan
didirikan di pesisir Provence yang sekarang berada di selatan Perancis. Biara
itu disebut Biara Lerins. Biara ini penuh dengan banyak biarawan kudus. Pada
abad kedelapan, komunitas Lerins terdiri dari para biarawan, novis, murid dan
pemuda yang tertarik untuk menjadi biarawan. Seluruhnya berjumlah lebih dari
limaratus orang.
Sekitar tahun 732, Abbas Porkarius mendapat semacam
wahyu atau nubuat. Tak lama lagi biara akan diserang oleh para penyerang
barbar. Abbas Porkarius menaikkan segenap murid dan tigapuluh enam biarawan
yang lebih muda dalam kapal. Lalu ia menyuruh mereka segera berlayar agar selamat.
Karena tak ada lagi kapal yang tersisa, ia mengumpulkan semua anggota komunitas
yang masih tersisa sekelilingnya. Tak seorang pun mengeluh karena tertinggal.
Sebaliknya, mereka berdoa bersama memohon kekuatan. Mereka memohon kepada Tuhan
karunia untuk mengampuni musuh mereka. Segera kaum Saracens dari Spanyol atau
Afrika Utara mendaratkan kapal-kapal mereka dan menyerang para biarawan,
seperti yang telah dinubuatkan sang abbas. Para biarawan berdoa dan saling
menguatkan satu sama lain agar dapat dengan gagah berani menanggung derita dan
mati demi Kristus. Para penyerang menyerbu dan membantai semua kurbannya
terkecuali empat orang yang mereka tawan sebagai budak. St Porkarius dan para
biarawan Lerins wafat sebagai martir yang gagah berani bagi Yesus.
Andai
aku dalam posisi pemimpin, adakah aku melihat tanggung jawabku sebagai suatu
pelayanan bagi sesama?
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Santa Radegundis dari Turingia,
Pengaku Imam
Puteri Raja Turingia ini lahir pada
tahun 518. Dikatakan bahwa ia diculik oleh raja Klotar I dari Franken. Setelah
dibaptis dalam tahanan, ia dipaksa menjadi isteri Raja Klotar yang berwatak
kasar dan jahat. Sepuluh tahun lamanya Radegundis bersikap sabar terhadap semua
perlakuan Klotar yang biadab itu.
Suatu ketika Klotar membunuh saudaranya. Lalu Radegundis melarikan diri dari istana dan minta supaya diberkati menjadi diakones. Kemudian ia pindah ke suatu tempat lain yang lebih aman untuk mendirikan biara. Ia bersahabat dengan imam Venansius Fortunatus, dan memperoleh hadiah kidung ;Vixilla Regis", yang hingga kini masih digunakan dalam ibadat Jumat Suci dan laudes (pujian). Redegundis meninggal dunia pada tahun 587.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
13 Agustus,
Santo Hippolitus, Martir
Hippolitus adalah imam dan murid
Santo Ireneus. Ia dikenal sebagai seorang pengarang terpelajar di Roma yang
mempunyai sikap keras. Sikapnya yang keras itu tampak dalam peristiwa pemilihan
Kalistus sebagai Paus. Hippolitus bukan saja melawan Kalistus sebagai Paus
terpilih (217-222), tetapi juga mengakuinya sebagai Paus yang sah. Dalam
sejarah kePausan, Hippolitus dikenal sebagai Paus tandingan pertama (217-222)
di dalam sejarah Gereja.
Dalam masa pemerintahan Kaisar Maksimianus, Hippolitus bersama temannya Pontianus-yang kemudian menjadi pengganti Paus Kalistus dibuang jauh dari Roma. Namun ia tetap teguh dan menanggung peneritaan yang menimpa dirinya dengan sabar. Setelah Paus meninggal, Hippolistus tunduk pada Paus Pontianus, yang menggantikan Kalistus. Hippolitus bersama Pontianus kemudian dibunuh bersama-sama oleh kaisar pada tahun 235.
Beato Innosensius XI, Paus
Benedetto Odescalchi-demikian
nama Innosensius-lahir di Como, Italia pada tanggal 19 Mei 1611. Masa
pontifikatnya (1676-1689) ditandai dengan suatu perjuangan panjang lagi berat
melawan campur tangan Raja Louis XIV dari Prancis (1643-1715) dalam
urusan-urusan Gereja. Innosensius terkenal saleh, hemat dan rajin beramal demi
membaharui semangat iman umatnya di Keuskupan Roma. Kecuali itu ia dikenal luas
karena mengutuk ajaran-ajaran sesat Laxisme dan Quiestisme, dan menggalang
persatuan di antara raja-raja Kristen menghadapi serangan bangsa Turki.
Semenjak kecil, Odescalchi dididik oleh imam-imam Yesuit di Como. Ketika menanjak dewasa, ia sibuk berdagang dan menjadi militer. Kemudian ia belajar ilmu hukum di Roma dan Napoli, hingga selesai pada tahun 1639. Hasratnya untuk mengabdi Tuhan dengan hidup sebagai imam tercapai ketika ia ditabhiskan imam beberapa waktu setelah menyelesaikan studinya. Karier Imamat Odescalchi dimulai pada bulan Juni 1643, tatkala Paus Urbanus VII (1623-1644) menunjuk dia sebagai sebagai presiden Kamera Apostolik, lembaga yang mengurus seluruh harta milik Tahkta Suci. Beberapa tahun kemudian, Paus Urbanus mengangkatnya menjadi Komisaris Apostolik untuk urusan pajak di Matches (1641-1655) dan menjadi Gubernur Macerata, Italia. Pada masa kepemimpinan Paus Innosensius X (1644-1655), Odescalchi diangkat menjadi diakon kardinal pada tanggal 6 Maret 1645 dan taklama kemudian menjadi imam kardinal. Kecerdasannya dalam menangani berbagai urusan mendorong Paus Innosensius X (1644-1655) memilih dia sebagai utusan Paus ke Ferrara, Italia untuk melayani kepentingan Gereja di sana.
Dari Ferarra, ia mendengar berita pengangkatan sebagai Uskup Novara, Italia. Ia kemudian ditabhiskan menjadi Uskup Novara pada tanggal 30 Januari 1651. Kariernya ditandai dengan berbagai usaha keras untuk memperbaiki kesejahteraan jasmani-rohani umatnya. Berbagai proyek pekerjaan umum diadakan di samping pembinaan rohani umat. Atas permintaan Paus Aleksander VII (1655-1667), Odescalchi menetap di Roma sesudah konklav. Jabatannya sebagai Uskup Novara diletakkannya pada tahun 1656. Tugasnya yang baru ialah membimbing berbagai kongregasi di Roma dan mengatur administrasi Gereja.
Sepeninggal Paus Klemens IX (1667-1669) pada tahun 1669, Odescalchi diajukan sebagai calon Paus. Namun konklav yang dipengaruhi oleh veto pihak Prancis, memilih Emilio Kardinal Altieri menjadi Paus dengan nama Klemens X (1670-1676). Pada sidang konklav berikutnya menyusul kematian Paus Klemens X, Odescalchi sekali lagi diajukan sebagai calon satu-satunya. Ia lalu diangkat menjadi Paus pada tanggal 21 September 1676 dengan nama Innosensius XI.
Sepanjang masa pontifikatnya, Innosensius dihadapkan pada masa campur tangah raja Louis XIV dari Prancis dalam urusan-urusan Gereja. Pertentangan ini memuncak tatkala Raja Louis memanggil suatu pertemuan rohaniwan-rohaniwan Prancis pada bulan Maret 1682. Pertemuan ini menyetujui empat usulan antiPaus yang dinamakan "Kebebasan-kebebasan Prancis". Empat usulan itu meliputi: deklarasi tentang supremasi-supremasi konsili-konsili Ekumenis Gereja di atas Paus; penyangkalan terhadap hak-hak Paus untuk memecat raja-raja dan membebaskan bawahan-bawahannya dari ketaatan; dan desakan bahwa penilaian Paus dalam masalah-masalah iman memang menduduki peringkat tertinggi namun bukan tidak dapat salah tanpa persetujuan seluruh Gereja.
Innosensius mencela Kebebasan-kebebasan Prancis pada bulan April 1682, dan mengumumkan celaan-celaan terhadap rohaniwan-rohaniwan Prancis yang mengikuti pertemuan itu. Hubungan antara Paus dan Louis semakin runcing pada tahun 1685, tatkala Raja Prancis melancarkan suatu penganiayaan kejam terhadap kaum Protestan yang dihukum Innosensius sebagai kaum ekstrimis.
Paus menolak calon yang diajukan Louis untuk menduduki tahkta keuskupan agung Cologne, Jerman dan menunjuk seorang utusan yang tidak simpatik kepada Prancis. Monarki Prancis mengambilalih wilayah kePausan Avignon, Prancis, dan menangkap semua utusan Paus yang ada disana. Perselisihan ini terus berlangsung hingga masa pontifikat Aleksander VIII (1689-1691), menggantikan Innosensius.
Masa kepemimpinan Innosensius ditandai dengan berbagai usaha pembaharuan Gereja, dua dekrit terkenal melawan bidaah Laxisme dan Quietisme, dan perlawanan Eropa terhadap serangan bangsa Turki yang Islam. Tak lama sesudah ia menduduki tahkta kePausan, ia melancarkan program ekonomi untuk membatasi anggaran Kuria Roma. Dengan tegas ia melawan praktek nepotisme, membaharui cara hidup biarawan/wati di semua biara Roma dan mengajak seluruh umat untuk menerima Komuni Suci sesering mungkin.
Dengan berbagai bantuan, diplomasi dan usaha pastoral, Innosensius berhasil menghadang serangan bangsa Turki di Vienna pada tanggal 12 September 1683, di Bupadest pada tanggal 2 September 1686, dan pada tahun 1689 di seluruh wilayah Balkan. Setelah mengalami penderitaan panjang karena penyakitnya, Innosensius akhirnya meninggal dunia pada 12 Agustus 1689.
Santo Pontianus, Paus dan Martir
Paus berkebangsaan Roma dan putra
Calpurnius ini memimpin Gereja Kristus dari tahun 230 sampai 235. Hari
kelahirannya dan kisah hidup masa mudanya tidak diketahui. Masa awal
pontifikatnya ditandai dengan perlawanan keras terhadap skisma yang ditimbulkan
oleh Hippolitus, seorang penulis terkenal pada masa Gereja Purba. Kecuali itu,
ia mengadakan sebuah sinode untuk memperkuat hukuman terhadap Origenes yang
menyebarkan ajaran sesat.
Pontianus kemudian dijatuhi hukuman pembuangan oleh Kaisar Maksimianus Thracianus (235-238) yang melancarkan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Bersama Hippolitus dan jemaat Kristen lainnya, Pontianus dibuang ke Sardinia. Agar supaya Gereja tidak mengalami kekosongan kepemimpinan, Pontianus melepaskan jabatannnya sebagai Paus dan diganti oleh Anterus pada tanggal 21 November 235. Di Sardinia, Pontianus mengalami banyak penderitaan dan akhirnya menghembuskan nafas karena penganiyaan atas dirinya. Hippolitus juga meninggal di Sardinia. Sebelumnya, ia mengakui kesalahannya dan berdamai dengan Gereja.
Pada masa kepemimpinan Paus Fabianus (236-250), jasad Pontianus dipindahkan ke Roma dan dikebumikan di pekuburan Santo Kalistus. Dari batu nisannya yang ditemukan pada tahun 1909, Pontianus dikenal sebagai seorang martir.
Santo Maximus, Pengaku Iman
Maximus lahir di Konstantinopel
(sekarang: Istambul, Turki) pada tahun 580 dan meninggal dunia pada tahun 662.
Ia dikenal luas sebagai seorang teolog ulung pada abad ke-7, pembela ortodoksi
Kristen dan otoritas Gereja Roma. Setelah meletakkan jabatannya sebagai
sekretaris Heraklius (610-641), Maximus menjadi biarawan dan Abbas di biara
Chrysopolis (sekarang: Scutari, Turki). Ia menulis banyak buku teologi, mistik
dan askase yang sangat berpengaruh terhadap mistisisme Byzantium saat itu.
Sesudah tahun 638, ia dikenal luas sebagai seorang penyerang heresi
Monotheletisme, yang mengajarkan bahwa Kristus hanya mempunyai satu kehendak,
yaitu kehendak ilahi. Serangannya terhadap heresi itu memuncak tatkala Kaisar
Konstan II (641-668) menerbitkan satu dekrit yang membela keberadaan dan ajaran
heresi Monotheletisme.
Terbitnya dekrit kaisar itu
menimbulkan kemarahan pihak Gereja.Paus Martinus I (649-655) segera mengadakan
sebuah konsili di Roma untuk menghukum Heresi Monotheletisme sekaligus dekrit
kaisar. Maximus tampil sebagai seorang peserta konsili yang vokal dan gigih
mendukung Paus. Karena pandangan-pandangannya, ia dibuang kaisar Konstans pada
tahun 655 di kota Bizya, Turki Barat. Pada tahun 662 ia dikembalikan ke
Konstantinopel, tempat ia menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah
mengalami penganiyaan berat dari pihak kaisar. Karena kegigihannya membela iman
Kristen dan Paus, Maximus dijuliki "Confessor" (=Pengaku Iman).
Sumber : http://www.imankatolik.or.id
St. Maximilianus Maria Kolbe.
Raymond Kolbe dilahirkan di Polandia pada tahun 1894.
Ia bergabung dengan Ordo Fransiskan pada tahun 1907 dan memilih nama seperti
kita mengenalnya sekarang: Maximilianus. Maximilianus amat mencintai
panggilannya dan secara istimewa ia mencintai Santa Perawan Maria. Ia
menambahkan nama “Maria” pada namanya ketika ia mengucapkan kaul agungnya pada
tahun 1914. Pastor Maximilianus Maria yakin bahwa dunia abad keduapuluh
membutuhkan Bunda Surgawi mereka untuk membimbing serta melindunginya. Ia
mempergunakan media cetak agar Maria lebih dikenal luas. Ia bersama dengan
teman-teman Fransiskannya menerbitkan bulletin yang terbit dua bulan sekali
yang segera saja tersebar dan dibaca orang di seluruh dunia.
Bunda Allah memberkati karya Pastor Maximilianus
Kolbe. Ia membangun sebuah biara besar di Polandia. Biara tersebut dinamainya
“Kota Immaculata”. Pada tahun 1938, delapan ratus biarawan Fransiskan tinggal
serta berkarya di sana untuk mewartakan kasih sayang Maria. Pastor Kolbe
juga membangun sebuah Kota Immaculata di Nagasaki, Jepang. Dan sebuah lagi
dibangunnya di India. Pada tahun 1938, Nazi menyerbu Kota Immaculata Polandia.
Mereka menghentikan karya mengagumkan yang berlangsung di sana. Pada tahun
1941, kaum Nazi menangkap Pastor Kolbe. Mereka menjatuhkan hukuman kerja paksa
di Auschwitz. Pastor Kolbe telah berada di Auschwitz selama tiga bulan lamanya
ketika seorang tahanan berhasil melarikan diri. Para Nazi menghukum tahanan
yang tersisa oleh karena tahanan yang melarikan diri tersebut. Mereka memilih
secara acak sepuluh orang tahanan untuk dihukum mati dalam bunker kelaparan.
Seluruh tahanan berdiri tegang sementara sepuluh orang ditarik keluar dari
barisan. Seorang tahanan yang terpilih, seorang pria yang telah menikah dan
mempunyai keluarga, merengek serta memohon dengan sangat agar diampuni demi
anak-anaknya. Pastor Kolbe, yang tidak terpilih, mendengarnya dan hatinya
tergerak oleh belas kasihan yang mendalam untuk menolong tahanan yang menderita
itu. Ia maju ke depan dan bertanya kepada komandan apakah ia dapat menggantikan
tahanan tersebut. Sang komandan setuju dengan permintaannya.
Pastor Kolbe dan para tahanan yang lain digiring masuk
ke dalam bunker kelaparan. Mereka tetap hidup tanpa makanan atau pun air selama
beberapa hari. Satu per satu, sementara mereka mati kelaparan, Pastor Kolbe
menolong serta menghibur mereka. Ia yang terakhir meninggal. Suatu suntikan
carbolic acid mempercepat kematiannya pada tanggal 14 Agustus 1941. Ia
dinyatakan kudus dan martir oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1982.
“Kebencian
bukanlah kekuatan yang membangun. Hanya kasih merupakan kekuatan yang
membangun.” ~ St. Maximilianus Kolbe
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Hari Raya SP Maria Diangkat ke Surga
Pada Hari Raya Bunda Maria ini Gereja merayakan hak
istimewa Bunda Maria, Bunda kita. Bunda Maria Diangkat ke Surga artinya Bunda
Maria masuk dalam kemuliaan surga tidak hanya jiwanya saja, tetapi juga dengan
tubuhnya. Putera Allah dikandung dalam rahim murni Perawan Maria. Jadi,
memanglah tepat, jika tubuhnya harus juga dimuliakan segera sesudah hidupnya di
dunia berakhir.
Sekarang Bunda Maria berada di surga. Ia adalah ratu
surga dan bumi. Ia adalah Bunda Gereja Kristus dan Ratu para Rasul. Setiap kali
Bunda Maria meminta Yesus untuk menganugerahkan berkat dan rahmat-Nya kepada
kita, Yesus mendengarkan permintaan Bunda-Nya.
Setelah dibangkitkan dari kematian, kita pun juga,
dapat pergi ke surga dengan tubuh kita. Jika sekarang kita mempergunakan tubuh
kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, kelak tubuh kita akan memperoleh
bagian kemuliaan di surga. Setelah kebangkitan, tubuh kita akan menjadi
sempurna. Ia tidak akan menderita sakit lagi. Ia tidak memerlukan makanan atau
pun minuman agar tetap hidup. Ia akan dapat pergi ke semua tempat tanpa waktu
atau pun usaha. Ia akan menjadi elok dan mengagumkan!
Maria Diangkat ke Surga dengan jiwa dan raganya
merupakan dogma iman (dogma = ajaran resmi Gereja). Kebenaran yang indah ini
dinyatakan oleh Paus Pius XII pada tanggal 1 November 1950.
Sementara
kita merayakan Hari Raya Bunda Maria, kita dapat mempercayakan diri kita pada
pemeliharaan serta kasih keibuan Bunda Maria. Bagian manakah dalam hidupku yang
paling memerlukan bimbingannya?
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”
Santo Tarsisius, Martir
Tarsisius dihormati Gereja sebagai pelindung para
akolit dan pelayan Misa. Menurut tradisi abad ketiga, yang didasarkan pada
sebuah syair dari Paus Santo Damascus (366-384), Tarsisius adalah seorang
martir yang mati di tangan orang-orang kafir karena ia menolak menyerahkan
Tubuh Kristus kepada anjing-anjing penindas itu. Sedangkan menurut tradisi abad
keenam, Tarsisius dikenal sebagai seorang akolit muda yang ditugaskan membawa
Komuni Kudus kepada orang-orang Kristen yang dipenjarakan selama masa
penganiayaan yang dilancarkan oleh Kaisar Valerianus (253-260). Penghormatan
dan kebaktian kepada Sakramen MahaKudus didasarkan pada kesaksian iman
Tarsisius. Tarsisius dikuburkan di pekuburan Santo Kallistus di Roma.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
St. Stefanus dari Hungaria.
St. Stefanus dilahirkan sekitar tahun 969 di Hungaria.
Nama yang diberikan kepadanya adalah Vaik. Ketika ia menjadi seorang Kristen
pada usia sepuluh tahun, ia diberi nama Stefanus. Pada saat yang sama, ayahnya,
Pangeran Hungaria, dan juga banyak kaum bangsawan lainnya menjadi Kristen.
Namun demikian, ketika Stefanus menjadi raja, di negerinya itu masih banyak
orang kafir. Sebagian penduduknya masih suka kekerasan dan kekejian. Jadi,
Stefanus memutuskan untuk membangun Gereja yang kokoh di Hungaria. Usahanya itu
diberkati Tuhan. Rahasia keberhasilan St. Stefanus dalam membimbing rakyatnya
secara gemilang kepada iman Kristiani adalah devosinya kepada Bunda Maria. Ia
mempercayakan seluruh kerajaannya dalam perlindungan Bunda Maria dan ia
membangun sebuah gereja yang amat indah untuk menghormati Bunda Allah.
Paus Sylvester II mengirimkan sebuah mahkota raja yang
indah bagi Stefanus. Pusaka ini kemudian dikenal sebagai Mahkota St. Stefanus.
Dalam masa Perang Dunia II, tentara Amerika merampas mahkota tersebut, tetapi
akhirnya diserahkan kembali pada Hungaria pada tahun 1978.
Stefanus seorang pemimpin yang tegas serta gagah
berani. Ia menerapkan hukum yang adil. Namun demikian, ia juga lemah lembut
serta penuh belas kasihan kepada mereka yang miskin. Sebisa-bisanya ia
menghindari peperangan. Ia suka memberi bingkisan uang kepada para pengemis
tanpa memberitahukan kepada mereka siapa dia sebenarnya. Suatu ketika ia sedang
membagikan bingkisan dalam penyamarannya, ketika sekelompok pengemis yang
brutal menyerang serta memukulnya. Mereka menarik-narik rambutnya, jenggotnya
serta merampas kantong uangnya. Tak pernah terbayangkan oleh mereka bahwa
mereka sedang mempermainkan raja mereka. Dan mereka tidak pernah tahu akan hal
itu. Raja menerima segala penghinaan itu dengan diam-diam dan dengan rendah
hati. Sekuat tenaga ia mengarahkan pikirannya pada Bunda Maria dan berdoa:
“Lihatlah, Ratu Surgawi, bagaimana umatmu memperlakukan dia yang engkau jadikan
raja. Jika mereka musuh-musuh iman, aku tahu apa yang harus aku lakukan
terhadap mereka. Tetapi, karena mereka adalah kesayangan Putera-mu, aku
menerima ini semua dengan sukacita. Aku mengucap syukur karenanya.” Malahan,
seketika itu juga Raja Stefanus berjanji untuk berderma lebih banyak lagi bagi
para pengemis. Stefanus menjadi raja Hungaria selama empatpuluh dua tahun. Ia
wafat pada tanggal 15 Agustus 1038. St. Stefanus dinyatakan kudus oleh Paus St. Gregorius VII pada
tahun 1083.
Raja
Stefanus seorang yang lemah lembut, penuh belas kasihan dan suka memberi
bingkisan kepada para pengemis tanpa memberitahukan kepada mereka siapa dia
sebenarnya. Pada hari ini, apakah yang harus aku lakukan untuk menjawab
panggilanku mengasihi sesama tanpa pamrih?
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
Santo Benediktus Yoseph Labre,
Pengaku Iman
Benediktus Yoseph Labre, putera
tertua dari limabelas bersaudara, lahir di Ammettes, Flanders, Prancis pada
tanggal 26 Maret 1748. Ayah dan ibunya Yohanes Baptista Labre dan Anne Babre
Grandsire adalah petani sederhana di desa Ammettes. Pendidikan keras ayahnya
membuat Benediktus bertumbuh menjadi seorang pekerja keras, cermat, cekatan dan
beriman.
Satu-satunya cita-cita yang membakar hatinya ialah menjadi abdi Allah sebagai imam atau biarawan. Pada umur 12 tahun, ia mulai menjalani pendidikan imamatnya di bawah bimbingan pamannya, Pater Francois Labre. Empat tahun kemudian, ia diterima di biara pertapaan Kartusian di Montreul–sur–Mer. Aturan hidup di biara ini terkenal keras. Di biara ini Benediktus hanya bertahan 1 bulan lamanya karena gangguan kesehatan. Tak lama kemudian ia mengajukan permohonan ke sebuah biara di La Trappe, tetapi permohonannya ditolak karena ia masih muda. Benediktus kemudian di terima di sebuah biara Trapist di Sept-Fonts. Enam bulan kemudian dia terpaksa meninggalkan biara itu karena gangguan kesehatannya.
Sejak itu Benediktus mulai sadar bahwa panggilannya untuk menjadi Abdi Allah harus ditempuhnya dengan tetap menjadi seorang awam sebagaimana Yesus dan para Rasul. Karena itu ia berkeputusan untuk menjadi peziarah. Antara tahun 1770 dan 1777, ia menjelajahi semua kota besar di Eropa Barat sepertil: Jerman, Prancis, Spanyol dan Italia. Akhirnya ia menetap di Roma. Di sana Benediktus menjadi pengemis yang hidup dari belaskasihan orang lain. Ia rajin mengunjungi gereja-gereja untuk berdoa dan merayakan Ekaristi. Pada awal masa Puasa pada tahun 1783, ia jatuh sakit lalu meninggal pada hari Jumat Agung tanggal 7 April 1783.
Benediktus Yoseph Labre dikagumi banyak orang karena kesalehannya, tetapi sekaligus diejek dan diolok-olok oleh orang-orang yang mengenalnya. Keramahan dan kerendahan hatinya, cinta dan kesalehannya mengilhami banyak orang di kota Roma. Semasa hidupnya yang diliputi kesengsaraan itu, ia dikaruniai banyak penglihatan ajaib. Satu abad setelah kematiannya, Benediktus dinyatakan kudus oleh Paus Leo XIII (1878-1903).
Sumber : http://www.imankatolik.or.id
St. Joan (=Yohana) Delanoue
Joan Delanoue dilahirkan pada tahun 1666 sebagai yang bungsu dari dua belas bersaudara. Keluarganya memiliki suatu usaha kecil yang berhasil. Ketika ibunya yang janda meninggal dunia, ibunya mewariskan tokonya kepada Joan. Joan bukan seorang gadis yang jahat, tetapi yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Ia melakukan banyak dosa kecil untuk itu. Dulu, ia seorang gadis yang saleh, tetapi sekarang hanya tersisa sedikit saja cinta kasih dalam hatinya. Ibunya seorang yang murah hati kepada para pengemis. Sebaliknya, Joan, membeli makanan hanya pada saat menjelang makan malam. Dengan demikian ia dapat mengatakan kepada para pengemis yang mohon belas kasihannya: “Maaf, saya tidak punya apa-apa untukmu.”
Joan Delanoue dilahirkan pada tahun 1666 sebagai yang bungsu dari dua belas bersaudara. Keluarganya memiliki suatu usaha kecil yang berhasil. Ketika ibunya yang janda meninggal dunia, ibunya mewariskan tokonya kepada Joan. Joan bukan seorang gadis yang jahat, tetapi yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Ia melakukan banyak dosa kecil untuk itu. Dulu, ia seorang gadis yang saleh, tetapi sekarang hanya tersisa sedikit saja cinta kasih dalam hatinya. Ibunya seorang yang murah hati kepada para pengemis. Sebaliknya, Joan, membeli makanan hanya pada saat menjelang makan malam. Dengan demikian ia dapat mengatakan kepada para pengemis yang mohon belas kasihannya: “Maaf, saya tidak punya apa-apa untukmu.”
Joan tidak bahagia dengan cara hidupnya itu. Ketika
usianya duapuluh tujuh tahun, seorang imam yang baik dengan penuh kasih
membantunya untuk hidup sesuai dengan imannya. Akhirnya, Joan menyadari bahwa
“usaha-nya” adalah untuk mengamalkan uangnya, bukan menumpuknya bagi diri
sendiri. Joan mulai memberikan perhatian kepada keluarga-keluarga yang miskin
dan juga anak-anak yatim piatu. Di kemudian hari, ia malahan menutup tokonya
sama sekali agar dapat mempergunakan seluruh waktunya bagi mereka. Orang
menyebut rumahnya yang penuh dengan anak-anak yatim piatu sebagai “Rumah
Penyelenggaraan Ilahi”. Ia mempengaruhi para wanita muda lainnya untuk
membantu. Mereka membentuk kelompok Suster-suster St. Anna dari Penyelenggaraan
Ilahi di Saumur, Perancis, kota tempat tinggal Joan.
Joan hidup dengan mati raga yang keras. Ia juga
melakukan tapa silih yang berat. St. Grignon de Montfort bertemu dengan Joan.
Pada mulanya ia menyangka bahwa kesombongan hati yang menyebabkan Joan bersikap
keras terhadap dirinya sendiri. Tetapi kemudian, St. Montfort segera menyadari
bahwa hati Joan sungguh penuh dengan cinta kasih kepada Tuhan. St. Montfort
menasehatinya: “Teruskanlah apa yang telah engkau mulai. Roh Tuhan ada padamu.
Ikuti suara-Nya dan jangan lagi khawatir.” Joan wafat dalam damai pada tanggal
17 Agustus 1736. Usianya tujuhpuluh tahun. Penduduk Saumur mengatakan, “Pemilik
toko kecil itu melakukan jauh lebih banyak bagi kaum miskin papa di Saumur
daripada seluruh dewan kota. Sungguh seorang wanita yang luar biasa! Dan
sungguh seorang yang kudus!” Joan dinyatakan sebagai 'beata' oleh Paus Pius XII
pada tahun 1947, tahun yang sama St. Grignon de Montfort dinyatakan kudus. Pada
tahun 1982, B. Joan Delanoue dinyatakan kudus oleh Paus Yohanes Paulus II.
Semoga
Yesus menganugerahi kita rahmat tobat seperti yang Ia anugerahkan kepada St.
Joan, sehingga hati kita terbuka lebih dan lebih lebar lagi demi kasih kepada
sesama.
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
Santo Hyasintus, Pengaku Iman
Hyasintus lahir tahun 1185 di Breslan, Silesia, Jerman
Timur, dari keluarga bangsawan Odrowaz. Setelah menamatkan studinya, ia
ditabhiskan menjadi imam. Karya imamatnya dimulai di Katedral Krakau, Polandia.
Pada umur 35 tahun, bersama adiknya Seslaus, Hyasintus menemani uskupnya dalam
perjalanan ke Roma.
Kesempatan itu dipakai untuk menemui Santo Dominikus, pendiri ordo Pengkhotbah. Semangat kerasulan dan kemiskinan para biarawan ordo itu sangat mereka kagumi. Pada pertemuan itu, Hyasintus meminta Dominikus agar mengutus beberapa biarawannya untuk mewartakan Injil di Eropa Utara. Permohonan ini tidak dikabulkan karena masalah kekurangan tenaga imam. Secara tak terduga, kedua bersaudara itu meminta Dominikus agar diterima dalam Ordo Pengkhotbah. Dengan senang hati Dominikus menerima kedua bersaudara itu dalam pengakuan ordonya.
Hyasintus bersama Seslaus, meskipun sudah lama bekerja sebagai imam, bersedia menjalani lagi masa novisiat untuk melatih diri dan membentuk diri mengikuti semangat Ordo Pengkhotbah dan semua keutamaan Kristen yang diperjuangkan ordo itu. Setelah mereka mengikrarkan kaul-kaul kebiaraan, Hyasintus dan Seslaus diutus ke Eropa Utara sebagai misionaris Dominikan pertama di wilayah itu.
Sebagai perintis Ordo Pengkhotbah di Eropa Utara, kedua bersaudara itu mengalami banyak hambatan dalam karyanya. Namun Tuhan senantiasa menyertai mereka dengan banyak karunia mukzijat. Mula-mula Hyasintus menjelajahi seluruh wilayah Polandia untuk mewartakan Injil. Ia berhasil mentobatkan banyak orang di semua kota. Selanjutnya ia berkotbah di wilayah-wilayah Jerman, Denmark, Swedia, Austria, dan Rusia sampai ke Laut Hitam. Kehidupannya yang sederhana dan suci menjadi pendukung kuat bagi khotbah-khotbahnya dan hal ini berhasil menarik minat banyak pemuda.
Pemuda-pemuda dengan rela meneladani Hyasintus dibina untuk menjadi imam-imam Dominikan. Untuk itu Hyasintus mendirikan banyak biara Dominikan di berbagai tempat sebagai pusat pendidikan bagi semua muda yang mau menjadi imam dalam Ordo Dominikan.
Dikatakan bahwa Hyasintus sepanjang hidupnya (72
tahun) tidak pernah mengalami sakit, termasuk penyakit ketuaan dan semua
penderitaan lain yang disebabkan oleh usia yang sudah lanjut. Ia akhirnya gugur
sebagai seorang ksatria Kristus yang memberi kesaksian iman secara luar biasa.
Pada tanggal 14 Agustus 1257, ia jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 15
Agustus 1257, tepat pada pesta Maria diangkat ke Surga.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
18 Agustus,
Santa Helena, Pengaku Iman
(Flavia) Helena berasal dari Drepanum, dekat Izmit,
Turki. Ia lahir pada tahun 250 dan meninggal dunia pada tahun 330. Sumber lain
mengatakan bahwa Helena lahir di Bitynia, Asia Kecil. Ketika menjadi Kristen,
beliau sudah memasuki usia senja. Pada tahun 270, puteri pengusaha rumah
penginapan ini, menikah dengan seorang jendral Romawi yang kemudian berhasil
menduduki tahkta Kekaisaran Romawi bagian Barat menggantikan Diokletianus:
Flavius Valerius Konstantinus, yang disebut juga Konstantinus Klorus (305-306).
Mereka tinggal di Naissus (sekarang: Nis, Yugoslavia). Disanalah pada tahun 274
Helena melahirkan Konstantinus Agung, yang kemudian menjadi Kaisar Romawi yang
lebih agung daripada ayahnya.
Setelah ayahnya, Konstantinus Klorus, meninggal di Eboracum (York) pada tahun 306 dalam suatu ekspedisi Britania, Konstantinus anaknya menjadi Kaisar Romawi Barat. Empat tahun kemudian, terdapat lima kaisar di Kekaisaran Romawi yang saling bersaing: Konstantinus, Maxentius, Licinius, Galerius dan Maximinus. Tatkala Galerius meninggal dunia, kekaisaran dibagi menjadi empat bagian: Konstantinus memerintah di Gaul (Perancis), Britania (Inggris) dan Raetia (Swiss); Maxentius di Spanyol, Italia dan Afrika Utara; dan bagian timur kekaisaran diperintah oleh Licinius dan Maximinus.
Pada tahun 312, Maxentius menyerang Konstantinus. Dalam kegentingan ini, Konstantinus mengalami suatu penglihatan ajaib: sebuah salib tampat di langit dengan pancaran cahaya yang kilau-kemilau. Pada Salib ajaib itu terpampang tulisan Yunani ini: “Tuiti Nika” yang artinya “Dalam tanda ini engkau akan menang!”. Konstantinus yakin bahwa Tuhan menghendaki dia bersama pasukannya bertempur dengan memakai tanda itu. Segera ia memerintahkan seluruh pasukannya berperang di bawah panji Salib suci. Konstantinus menang mutlak atas musuhnya Maxentius dan memasuki kota Roma dengan jaya. Konstantinus bersama pasukan-pasukannya dielu-elukan oleh seluruh umat Kristen, yang beberapa tahun silam dianiaya. Karena kemenangan ini, Konstantinus memberikan kebebasan kepada agama Kristen, bahkan agama Kristen diakui sebagai agama negara. Semua orang Kristen yang masih mendekam di dalam penjara dibebaskan dan Konstantinus mendirikan banyak gereja, mengembalikan semua kekayaan Gereja yang dijarah oleh penguasa Roma yang lalim, dan menghadiahkan banyak bidang tanah kepada Gereja.
Sebagai penghormatan kepada ibunya yang saleh itu, Konstantinus mengangkat ibunya menjadi ratu; Drepanum, kota asal ibunya diubah namanya menjadi Helenapolis. Helana sendiri pada tahun 324 berziarah ke Tanah Suci Yerusalem untuk mengucap syukur kepada Tuhan yang telah mengaruniakan banyak rahmat keluarganya. Dalam ziarah itu pula, Helena bertekad menemukan Salib Suci, tempat Yesus menebus seluruh umat manusia dengan mengucurkan DarahNya. Setelah berjerih payah menemukan Salib Yesus itu, ditemukanlah tiga buah salib di sebuah sumur dekat bukit Golgota di Yerusalem. Paku-pakunya pun masih ada pula. Kesulitan yang timbul ialah ‘betulkah ketiga salib itu adalah salib yang bersejarah itu? Manakah Salib Yesus? Dengan bantuan Uskup Makarios, ketiga salib itu disentuhkan berturut-turut pada seorang wanita yang sakitnya tidak tersembuhkan. Ketika salib ketiga disentuhkan pada wanita itu, ia langsung sembuh sama sekali. Salib itulah Salib Yesus. Saking gembiranya, Helena memohon kepada puteranya Konstantinus agar mendirikan sebuah gereja di atas bukit Golgota untuk menyimpan Salib yang tak ternilai itu. Ia memotong sebagian untuk dikirim masing-masing ke Roma dan Konstantinopel. Dua buah gereja lain dibangunnya, masing-masing di Betlehem, tempat kelahiran Yesus dan di bukit Zaitun, tempat Yesus mengalami sakratul maut dan diangkat ke surga. Helena meninggal dunia pada tahun 330 dan jenazahnya dikuburkan di makam keluarga kaisar.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
St. Yohanes Eudes
Yohanes Eudes dilahirkan di Normandy, Perancis pada
tahun 1601. Ia adalah putera sulung seorang petani. Bahkan sejak masih
kanak-kanak, Yohanes telah berusaha meniru teladan Yesus dalam memperlakukan
keluarga, teman-teman serta para tetangganya. Ketika usianya sembilan tahun,
seorang anak lelaki menampar wajahnya. Yohanes merasa amat marah. Tetapi,
kemudian ia ingat akan sabda Yesus dalam Injil: berikan pipimu satunya. Jadi,
ia melakukannya.
Orangtua Yohanes menghendaki putera mereka menikah dan
memiliki keluarga. Dengan lembut tapi tegas, Yohanes meyakinkan mereka bahwa ia
dipanggil untuk menjadi seorang imam. Ia masuk biara Ordo Pengkhotbah dan
menerima pendidikan calon imam. Setelah ditahbiskan sebagai imam, suatu wabah penyakit
menyerang Normandy. Wabah ganas itu mengakibatkan kesengsaraan yang hebat dan
juga kematian. Pastor Eudes menawarkan diri untuk menolong mereka yang sakit,
merawat baik jiwa maupun raga mereka. Di kemudian hari, Pastor Eudes menjadi
seorang pengkhotbah misi yang populer di berbagai paroki. Sesungguhnya,
sepanjang hidupnya ia menyampaikan 110 khotbah misi. St. Yohanes juga berperan
penting dalam terbentuknya kongregasi-kongregasi religius: Kongregasi
Suster-suster dari Maria Bunda Berbelaskasihan (SCMM) dan Kongregasi
Suster-suster Gembala Baik (RGS). Pastor Eudes juga membentuk Kongregasi Yesus
dan Maria (CJM) bagi para imam. Kongregasi ini bertujuan melatih para pemuda
untuk menjadi imam paroki yang baik.
St. Yohanes memiliki devosi yang kuat kepada Hati
Yesus yang Mahakudus dan Hati Maria yang Tak Bernoda. Ia menulis sebuah buku
tentang devosi-devosi tersebut. Yohanes jatuh sakit setelah menyampaikan suatu
khotbah terbuka dalam cuaca yang amat dingin. Ia tidak pernah sepenuhnya sembuh
kembali. Yohanes wafat pada tahun 1680. Ia dinyatakan “beato” oleh Paus St. Pius X pada
tahun 1908. Paus menyebut Yohanes Eudes sebagai Rasul Devosi kepada Hati Yesus
yang Mahakudus dan kepada Hati Maria yang Tak Bernoda. St. Yohanes Eudes
dinyatakan kudus oleh Paus Pius XI pada tahun 1925.
“Para
pengkhotbah memukul semak-semak. Para imam yang menerima pengakuan dosa
menangkap burung-burungnya!” ~ St. Yohanes Eudes
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
St. Bernardus
Bernardus dilahirkan pada tahun 1090 di Dijon,
Perancis. Ia dan keenam saudara-saudarinya memperoleh pendidikan yang baik.
Hati Bernardus amat sedih ketika ibunya meninggal dunia. Usianya baru
tujuhbelas tahun. Hampir-hampir ia membiarkan dirinya larut dalam kesedihan
jika saja tidak ada Humbeline, saudarinya yang periang. Humbeline membuatnya
gembira dan segera saja Bernardus telah menjadi seorang yang amat populer. Ia
tampan dan cerdas, riang gembira dan penuh rasa humor. Siapa saja suka berada di
dekatnya.
Suatu hari, Bernardus mencengangkan teman-temannya
ketika ia mengatakan bahwa ia akan bergabung dengan Ordo Cistercian yang amat
keras. Mereka mengusahakan segala cara agar ia membatalkan rencananya itu.
Tetapi pada akhirnya, Bernarduslah yang berhasil meyakinkan saudara-saudaranya,
seorang pamannya dan keduapuluh-enam orang temannya untuk bergabung bersamanya.
Ketika Bernardus dan saudara-saudaranya hendak meninggalkan rumah mereka,
mereka berkata kepada adik mereka, Nivard, yang sedang bermain bersama
anak-anak lain: “Selamat tinggal, Nivard kecil. Sekarang semua tanah dan harta
benda ini menjadi milikmu.” Tetapi anak itu menjawab: “Apa! Kalian mengambil
surga dan menyisakan dunia untukku? Apakah kalian pikir itu adil?” Dan tak lama
kemudian, Nivard pun bergabung dengan saudara-saudaranya di biara. St.
Bernardus menjadi seorang biarawan yang baik.
Tiga tahun kemudian, ia diutus untuk mendirikan biara
Cistercian yang baru serta menjadi abbas (=pemimpin biara) di sana. Biara
tersebut terletak di Lembah Cahaya. Dalam bahasa Perancis, Lembah Cahaya adalah
“Clairvaux” Biara baru itu kemudian lebih dikenal dengan nama Clairvaux.
Bernardus menjadi abbas di Clairvaux hingga akhir hayatnya. Meskipun ia lebih
suka tinggal bekerja dan berdoa dalam biaranya, kadang-kadang ia harus pergi
untuk tugas-tugas khusus. Ia berkhotbah, mendamaikan para penguasa, serta
memberikan nasehat kepada paus. Ia juga menulis buku-buku rohani yang indah. Ia
menjadi seorang yang amat berpengaruh dalam jamannya. Tetapi, terutama yang
paling dirindukan Bernardus adalah dekat dengan Tuhan, menjadi seorang
biarawan. Ia tidak berusaha untuk menjadi orang terkenal. Bernardus mempunyai
devosi yang mendalam kepada Santa Perawan Maria. Dikatakan bahwa ia sering
menyapa Bunda Maria dengan sebuah “Salam Maria” ketika ia melewati patungnya.
Suatu hari, Bunda Maria membalas salamnya: “Salam, Bernardus!”. Dengan cara
demikian Bunda Maria hendak menunjukkan bagaimana cinta Bernardus dan devosinya
telah menyenangkan hati Bunda Maria.
St. Bernardus wafat pada tahun 1153. Orang banyak
merasa sangat sedih karena mereka kehilangan pengaruhnya yang menakjubkan. St.
Bernardus dinyatakan kudus pada tahun 1174 oleh Paus Alexander III. St.
Bernardus juga diberi gelar Doktor Gereja pada tahun 1830 oleh Paus Pius VIII.
“Ia
yang tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap temannya sendiri telah
kehilangan rasa takut akan Tuhan.” ~ St. Bernardus
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
Samuel, Imam dan Hakim Israel
Samuel dikenal sebagai hakim
terakhir dalam masa Perjanjian Lama. Ia memimpin Israel sebagai imam dan hakim
dari tahun 1200 sampai 1020 sebelum masehi. Kisah hidupnya diceritakan dalam
Kitab Pertama Samuel. Samuel adalah anak pemberian Tuhan sebagai jawaban atas
doa yang tulus dari Hana ibunya yang mandul selama bertahun-tahun. Ketika
berdoa di Kenisah Allah di Silo, Hana berjanji bahwa apabila Tuhan
menganugerahi dia seorang anak laki-laki, ia akan mempersembahkan anak itu
kepada Tuhan dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya (1Sam1:11).
Ketika Hana melahirkan, ia menamakan anaknya Samuel yang berarti ‘diminta dari Tuhan’, seusai dengan janjinya kepada Tuhan, Hana mempersembahkan Samuel kepada Tuhan untuk melayani Dia di kenisah Silo. Sebagai ucapan syukur, Hana menyanyikan sebuah lagu pujian untuk Tuhan (1Sam2:110); lagu pujian ini berabad-abad kemudian bergaung dengan sangat indah dalam Magnificat Maria (Luk1:4655). Di Silo, Samuel berada dalam penjagaan Eli (1Sam2:28), Eli dan keluarganya dipilih Allah menjadi hambaNya untuk melayani Allah dan membawa persembahan kepadaNya. Tetapi anak-anak Eli tidak menghormati jabatan imamat yang dipercayakan Allah kepada mereka. Oleh karena itu, Tuhan memanggil Samuel dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan menghancurkan rumah Eli (1Sam 3:1014). Tuhan mencintai Samuel dan menyertai dia, dan orang-orang Israel tahu bahwa Samuel adalah seorang nabi yang diutus Allah kepada mereka (1Sam 3:19).
Tindakan pertama Samuel sebagai Nabi Allah ialah menghimbau seluruh umat Israel agar kembali membaharui janji mereka dengan Yahweh (1Sam 7:3). Orang-orang Israel telah ditaklukkan oleh bangsa Filistin; tabut perjanjian sebagai tanda kehadiran Allah di antara mereka pun direbut. Tetapi Tuhan menyiksa bangsa Filistin; karena perbuatan mereka sehingga mereka mengembalikan tabut perjanjian itu kepada bangsa Israel. Pada saat itulah, Samuel menghimbau pembaharuan perjanjian dengan Yahweh, demi keselamatan mereka dari cengkraman Filistin (1Sam 7:10-14). Pertentangan diantara umat tentang hal pembangunan sebuah kerajaan mencapai puncaknya pada masa Samuel. Setelah beberapa tahun memimpin Israel sebagai imam dan hakim, Samuel mengurapi anak-anaknya untuk menggantikan dia. Meski demikian mereka tidak pantas menjadi hakim atas Israel. Oleh karena itu orang Israel meminta Samuel mengurapi seorang raja bagi mereka.
Permintaan ini ditentang oleh Samuel yang tetap menghormati Yahweh sebagai satu-satunya Raja Israel (1Sam 8; 10:17-19; 12). Namun umat Israel bersikeras menuntut seorang raja agar mereka sama dengan bangsa-bangsa lain (1Sam 8:20). Akhirnya Samuel mengurapi Saul sebagai raja Israel pertama pada tahun 1020 (1Sam 10:18). Sambil memperingatkan umat sekali lagi agar ‘takut akan Allah dan melayani Dia dalam kebenaran dan dengan segenap hati’, Samuel meletakkan jabatannya sebagai hakim Israel (1Sam 12).
Saul diperintahkan untuk menyerang dan menghancurkan bangsa Amalek, musuh utama Israel. Namun Saul enggan bahkan tidak menaati perintah Tuhan itu. Memang ia menyerang bangsa Amelek, namun ia hanya menumpas rakyat jelata dengan pedang dan ternak yang dilihatnya tidak berharga; sedangkan Agag, raja orang Amelek dan kambing-domba serta lembunya yang tambun diselamatnya (1Sam 15:19). Oleh karena itu Tuhan kesal padanya dan segera mengutus Samuel untuk memberitahu Saul bahwa ia tak akan lama menjadi raja atas Israel (1 Sam15:23). Hal ini berarti bahwa jabatan kerajaan tidak bisa diturunkan kepada puteranya Yonathan. Firman Tuhan itu akhirnya menjadi nyata. Sementara Saul masih hidup, Samuel mengurapi Daud, putera bungsu dari keluarga Isai atau Yesse untuk menggantikan Saul sebagai raja atas Israel (1Sam16:13). Saul marah dan bangkit menyerang Daud, tetapi Daud selamat di bawah perlindungan Samuel (1Sam19:18).
Ketika Samuel meninggal dunia, semua
orang Israel berkumpul dan meratapi dia. Mereka menguburkan dia dalam rumahnya
di Ramatha (1Sam 25:1).
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
21 Agustus,
Santo Paus Pius X, Paus dan Pengaku
Iman
Guiseppe Melchiore Sarto-demikian
nama Paus Pius X-lahir di Reise, Treviso, Italia pada tanggal 2 Juni
1835. Anak kedua dari 10 bersauadara ini lahir dalam suasana kemiskinan sebuah
keluarga petani sederhana. Pendidikan dasar ditempuhnya di Reise dan
Castelfranco, Italia. Pada tahun 1858, ia menempuh pendidikan imam di Seminari
Padua, Italia hingga ditabhiskan menjadi imam pada tanggal 18 September 1858.
Karier imamatnya dimulai di Paroki
Tambolo, Italia sebagai pastor kepala. Setelah 9 tahun mengabdi di Tambolo, ia
dipindahkan ke Paroki Salzano. Umat senang sekali padanya karena kesalehannya,
kefasihannya berbicara dan kegiatan-kegiatan pastoralnya. Karena kesalehan dan
kemampuannya, ia diangkat sebagai imam kanonik di gereja Katedral Treviso pada
tahun 1875. Tak lama kemudian ia ditunjuk sebagai pembimbing rohani, pengajar
dan rektor di Seminari Treviso. Di Treviso karier Sarto benar-benar meningkat.
Semuanya itu perlahan-lahan
menghantarkannya ke atas jenjang imamat tertinggi sebagai Uskup. Oleh Paus Leo XIII, Sarto
diangkat menjadi Uskup di dioses Mantua, Italia pada tahun 1884. Kondisi dioses
Mantua kacau balau ketika Sarto menduduki tahkta keuskupan. Pendidikan seminari
sudah ditutup lebih dari 10 tahun karena situasi politik yang tidak menentu;
banyak paroki mengalami kekosongan kepemimpinan pastor; kaum buruh semakin
tidak menghiraukan hidup imannya karena pengaruh sosialisme; kaum intelektual
sudah termakan pengaruh liberalisme; aliran Freemansory terus giat menyebarkan
ajarannya, dan dimana-mana muncul semangat antiklerikalisme. Uskup Sarto yang
saleh ini dengan tenang dan berani menghadapi masalah-masalah ini. Dengan
sangat berani, ia membuka kembali pendidikan Seminari dan meneguhkan
imam-imamnya agar dengan tekun melayani umat di parokinya masing-masing. Uskup
Sarto pun tak kenal lelah mengadakan kunjungan pastoral ke semua paroki untuk
mengenal dari dekat situasi umatnya. Di mana-mana ia berkhotbah dan berjuang
mengembalikan umatnya kepada penghayatan iman yang benar.
Kunjungan pastoralnya itu
menggerakkan dia untuk mengadakan suatu sinode di Mantua. Sinode itu
diselenggarakan pada tahun 1888 dan berhasil merumuskan sebuah pedoman kerja
dioses yang baru untuk membangkitkan kembali kehidupan rohani umat seluruh
dioses. Tuhan ternyata memberkati karya Uskup Sarto. Di seluruh dioses,
lahirlah kembali suatu semangat baru untuk menghayati iman Kristiani. Antara
Negara dan Gereja terjalin suatu hubungan yang baik; pengajaran katekismus bagi
orang dewasa dan anak-anak digalakkan di seluruh dioses; perkawinan Katolik
ditegakkan kembali dan anak-anak sudah bisa menerima komuni pertama sejak masa
remajanya.
Melihat keberhasilan karya Uskup
Sarto, Paus Leo XIII mengangkat Sarto menjadi Kardinal pada tanggal
12 Juni 1893. Tak lama kemudian Paus Leo mengangkatnya menjadi Batrik Venesia.
Di Venesia, Sarto tidak menemui banyak masalah. Namun ia mengadakan beberapa
pembaharuan di bidang pendidikan Seminari, musik liturgi dan metode pewartaan.
Pelajaran agama yang dilarang oleh kaum Freemansorny diberikan lagi
disekolah-sekolah umum. Gereja Venesia benar-benar carah dibawah kepemimpinan
Batrik Sarto.
Sepeninggal Paus Leo XIII, para
Kardinal memilih Kardinal Guiseppe Melchiore Sarto menjadi Paus. Mulanya ia
menolak menerima jabatan mulia itu. Dengan rendah hati, ia meminta para
Kardinal agar tidak memilihnya menjabat martabat Gerejawi yang luhur itu, namun
karena desakan para Kardinal, Sarto pun akhirnya menerima juga jabatan itu. Ia
secara resmi menduduki Tahkta Petrus pada tanggal 9 Agustus 1903.
Tekadnya yang utama sebagai Wakil Kristus di dunia ialah membaharui segala
sesuatu di dalam Kristus. Dua peristiwa penting yang mewarnai masa
pontifikatnya: Pertama, pemisahan antara Gereja dan negara di Perancis yang
mengakibatkan hampir seluruh kekayaan Gereja dirampas oleh pemerintah, tetapi
sebaliknya memberikan kebebasan penuh kepada Gereja dari kekuasaan sipil.
Kedua, kutukan terhadap gerekan filsafat dan teologi aliran ‘modernisme’.
Paus Pius yang takut akan merosotnya
otoritas rohani Gereja mencela bahkan mengutuk aliran modernisme itu. Dalam
dekritnya Lamentabili dan ensiklik Pascendi Dominici Gregis, Paus Pius X secara
resmi mengutuk modernisme. Sikap Paus yang kelewat tegas ini mengakibatkan
banyak pembantunya yang licik menggunakan kesempatan dan cara-cara yang tidak
terpuji, bahkan tidak halal untuk ahli-ahli teologi yang berpikiran maju.
Terhadap kegiatan kerasulan awam, khusus dibidang sosial dan politis, Pius
selamanya bersifat curiga.
Di samping ketegasannya itu, patut
dicatat pula bahwa Pius juga melakukan berbagai tindakan penting yang membantu
Gereja bersikap luwes dan adaptif dengan situasi dan tuntutan jaman. Misalnya,
kodifikasi hukum Gereja, reorganisasi dan modernisasi kuria Roma, pendirian
lembaga Studi dan pendidikan Kitab Suci dan usaha membaharui terjemahan Kitab
Suci dalam bahasa Latin (Vulgata: diselesaikan pada tahun 1979). Ia berusaha
keras menghidupkan ibadat umat terutama musik liturgi, mengajak umat untuk
menerima Komuni Kudus sesering mungkin bahkan setiap hari. Ia juga memajukan
devosi kepada Santa Perawan Maria.
Meskipun ia seorang Paus, namun ia
tetap sederhana dan sayang pada umat. Semasa hidupnya, ia beberapa kali
menyembuhkan beberapa umat dari penyakitnya secara ajaib. Sebelum meninggal
dunia, dalam surat wasiatnya ia menulis: “Saya dilahirkan miskin, saya hidup
miskin dan saya ingin mati secara miskin pula”. Beliau meninggal dunia pada
tanggal 20 Agustus 1914 di Roma, dua minggu setelah pecah Perang Dunia I.
Segera setelah ia meninggal terdengar banyak permintaan agar dia dinyatakan
‘kudus’ oleh Gereja.
Sumber : http://www.imankatolik.or.id
22 Agustus,
Santo Simforianus, Martir
Di kota Autun, Prancis pada masa penjajagan Romawi,
setiap tahun biasanya diselenggarakan perarakan besar untuk menghormati dewi
Cybele. Patung dewi itu diusung mengelilingi kota. Di antara khalayak ramai
yang berdiri di sepanjang jalan kota untuk memberi hormat dan sujud-sembah
kepada sang dewi yang lewat, ada juga seorang pemuda tak dikenal yang tetap
berdiri tegak dengan sikap sinis. Ia tidak sudi memberikan sikap hormat dan
sujud-sembah seperti yang dilakukan orang banyak itu. Sikapnya ini menimbulkan
pertanyaan dan curiga dalam hati banyak orang. Tak lama kemudian, ia ditangkap
dan dihadapkan ke pengadilan Prefek kota Autun. Atas pertanyaan Prefek, pemuda
itu dengan tegas menjawab: “Namaku Simforianus. Aku seorang Kristen.”
Pada waktu itu jumlah orang Kristen sangat sedikit, sehingga tidaklah mengherankan kalau prefek itu tidak memahami maksud kata-kata Simforianus itu. Prefek yang mengira bahwa Simforianus belum mengetahui semua peraturan kaisar, menyuruh orang membacakan peraturan kaisar mengenai penyembahan kepada dewi Cybele. Seusai pembacaan itu, Simforianus dengan lantang berkata: “Semua perintah itu sudah aku tahu, tetapi aku harus lebih menaati perintah Tuhanku Yesus Kristus, Raja segala raja”, selanjutnya untuk menantang sang prefek, Simforianus berkata: “Berikan kepadaku sebuah palu, maka aku akan menghancrukan dewimu itu. Aku mau melihat apakah perbuatanku atas dewimu itu akan mengakibatkan malapetaka besar atas seluruh rakyat kota ini.”
Perkataan berani itu menyebabkan amarah hebat sang prefek. Simforianus segera dibelenggu, didera lalu kemudian dipenjarakan. Setelah beberapa hari mendekam di penjara, ia dikeluarkan dan digiring ke tempat pembunuhan. Penderitaan yang hebat yang ditimpakan atas dirinya membuat badannya lemah dan wajahnya pucat pasi. Namun Simforianus tetap girang dan tetap tegak berdiri. Ketika tiba di tempat pembunuhan itu, ibunya berseru: “Vita non tollitur sed mutatur!” yang artinya “Hidup tidak dicabut melainkan hanya diubah!”. Simforianus dibunuh dengan menggunakan pedang para algojo kafir. Ia kemudian dihormati sebagai seorang martir Kristus.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
23 Agustus,
Santa Rosa da
Lima, Perawan
Isabella de Flores-demikian nama
Rosa da Lima-lahir di Lima, Peru pada tanggal 20 April 1586. Puteri bungsu dari
pasangan Gaspar Flores dan Maria Olivia ini begitu cantik, sehingga ibunya
memanggil dia ‘Rosa’ yang berarti ‘bunga mawar’. Nama ini pun secara spontan
diberikan oleh Uskup Agung kota Lima tatkala Isabella menerima Sakramen Krisma. Namun nama yang manis ini kontras sekali dengan cara
hidup yang keras yang ia praktekkan untuk mengambil bagian dalam penderitaan
Kristus. Sewaktu Rosa masih kanak-kanak, orangtuanya yang berdarah Spanyol yang
tergolong kaya itu. Namun sayang bahwa kemudian mereka jatuh miskin karena
bangkrut dalam usaha dagang yang dikelola sang ayah. Ketika menanjak remaja,
Rosa terpaksa harus bekerja membantu orangtuanya. Selain bekerja di kebun, ia
juga menjahit untuk sekedar memperoleh uang tambahan guna memenuhi kebutuhan
keluarganya. Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Rosa merasakan suatu gejolak
batin yang mendorong dia untuk menjalani suatu cara hidup khusus mengikuti
jejak Kristus. Ia tak berdaya menghalau gejolak batin itu, sehingga akhirnya ia
mulai menjalani corak hidup khusus itu.
Ia berpuasa tiga hari seminggu dan
berpantang dari buah-buahan. Wajahnya yang cantik molek itu sering dicorengnya
dengan kapur agar tampak tidak menarik. Daripada itu, orangtuanya telah
merencanakan perkawinannya dengan seorang pemuda yang mereka sukai. Selama 10
tahun ia berjuang keras melawan keinginan orangtuanya untuk mengawinkan dia
dengan pemuda itu. Tatkala desakan dan paksaan orangtuanya memuncak, Rosa
segera mengikrarkan kaul keperawanan dan masuk ordo ketiga Santo Dominikus.
Sebagaimana biasa, ordo ketiga tidak menuntut anggota-anggotanya menjalani
kehidupannya di dalam biara; sebaliknya membiarkan mereka tetap menjalani
kehidupannya di tengah–tengah masyarakat. Rosa pun tetap tinggal bersama
orangtuanya sambil dengan tekun menghayati panggilannya.
Rosa mendirikan sebuah pondok
dikebunnya dan hidup disana sebagai seorang pertapa sampai berusia 28 tahun.
Cara hidup Rosa sangat keras. Ia lebih banyak menggunakan waktunya untuk berdoa
dan bertapa. Waktu malam ia hanya tidur selama dua jam. Ia tidur diatas ranjang
yang ditaburi dengan pecahan-pecahan kaca. Tudung kepalanya sangat kasar;
makanannya sangat sedikit berupa roti untuk jangka waktu dua–tiga minggu.
Pantang dan puasa yang keras ini membuat badannya sangat lemah.
Rosa dipandang sebagai wanita yang
kudus luar biasa dengan suatu corak hidup yang luar biasa pula. Cara hidupnya
yang diwarnai dengan penyiksaan diri yang heroik itu sulit ditiru wanita kudus
lainnya, bahkan semua orang lain. Selama tiga tahun terakhir hidupnya, Rosa
tinggal di rumah Don Gonzalo de Massa, seorang pegawai pemerintahan yang
istrinya mengenal baik Rosa. Di sana pula, Rosa menghembuskan nafasnya yang
terakhir pada tanggal 24 Agustus 1617 di Lima. Ia dinyatakan ‘kudus’ oleh Sri Paus Klemens X (1670–1676) pada tanggal 12 April 1671.
Santo Filipus Benizi, Pengaku Iman
Filipus Benizi lahir di Florence,
Italia pada tanggal 15 Agustus 1233. Hari kelahirannya, yang bertepatan pada
Pesta Santa Maria Diangkat ke Surga, merupakan suatu tanda awal bagi panggilan
hidupnya dikemudian hari. Pada masa mudanya, Filipus belajar di Universitas
Paris dan Padua hingga meraih gelar sebagai seorang dokter dan ahli filsafat.
Sebagai seorang dokter, ia mempunyai perhatian besar pada orang-orang sakit, terutama
yang miskin dan melarat. Para pasien yang ditanganinya senantiasa memperoleh
peneguhan batin dalam menanggung beban penderitaannya. Di samping memberikan
obat-obatan, Filipus juga selalu mendoakan para pasiennya.
Tuhan mempunyai suatu rencana khusus
untuk Filipus, Tuhan mau menjadikannya seorang ‘dokter’ bagi jiwa-jiwa kaum
beriman. Sekali peristiwa ketika menghadiri kurban misa di gereja biara
Hamba-hamba Santa Perawan Maria, ia tersentuh oleh bacaan Kisah Para Rasul yang
mengisahkan tentang suruhan Roh Kudus pada Filipus untuk menobatkan
sida-sida di Etiopia. “Bangunlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut
jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza… Pergilah kesitu dan dekatilah kereta
itu!”
Kata-kata suruhan Roh Kudus itu
terus mendengung dalam batinnya dan mendesak dia untuk berbuat yang sama
seperti Filipus dalam bacaan itu. Ia pun kemudian mengajukan permohonan untuk
masuk novisiat tarekat Hamba-hamba Maria di Monte Senario. Permohonannya
diterima oleh pimpinan tarekat itu. Filipus menjadi seorang bruder dalam
tarekat itu dan bekerja sebagai tukang masak dan tukang kebun. Pimpinan biara
sangat senang dengan dia karena kerajinannya, terlebih karena kepandaiannya
dalam berbagai ilmu dan kafasihan berbicara bahasa Latin. Oleh karena semuanya
itu, Filipus kemudian dikirim belajar teologi untuk menjadi imam. Filipus yang
rendah hati itu taat pada rencana pemimpinnya, meskipun ia lebih senang hanya
menjadi seorang bruder. Setelah menyelesaikan studi teologinya, Filipus
ditabhiskan menjadi imam. Delapan tahun kemudian ia terpilih sebagai pemimpin
tertinggi tarekatnya. Ia sendiri menolak jabatan mulia itu, namun dalam suatu
penglihatan ajaib, Filipus ditegur oleh Roh Kudus: “Filipus, janganlah engkau
melawan Roh Kudus. Akulah yang memilih engkau dari dunia ini untuk
menjadi gembala bagi kawanan ini.”
Filipus dengan semangat tinggi
membina tarekat Hamba-hamba Santa Perawan Maria, sambil tetap memperhatikan
orang-orang miskin dan melarat. Suatu hari ia berpapasan dengan seorang
pengemis kusta yang meminta sedekah dari padanya. Karna ia tidak membawa
apa-apa, maka ia membuka mantel untuk pengemis itu. Tetapi anehnya bahwa
pengemis itu tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Lalu tahulah ia bahwa
pengemis itu adalah Yesus yang menjelma dalam rupa
seorang pengemis.
Ketika Paus Klemens IV, Filipus
Benizi dicalonkan sebagai pengganti. Mendengar itu, ia segera menyingkir ke
pegunungan dan tinggal disana selama tiga bulan hingga terpilihnya Paus baru.
Setelah Gregorius X terpilih menggantikan Klemens IV, barulah ia
kembali ke biaranya. Atas dorongan Roh Kudus, ia menjelajahi seluruh Eropa dan
sebagian Asia untuk berkhotbah. Di beberapa tempat, ia berhasil memulihkan
hubungan yang retak antar para bangsawan. Ia juga banyak membuat mukzijat
sehingga banyak orang yang percaya pada Kristus. Filipus meninggal dunia pada
tanggal 23 Agustus 1285. Pada tahun 1671 ia dinyatakan ‘kudus’ oleh Paus Klemens X (1670–1676).
Sumber : http://www.imankatolik.or.id
24 Agustus,
Santo Bartolomeus, Rasul
Bartolomeus berarti ‘Anak Tolmai’. Ada semacam
keragu–raguan tentang nama rasul ini; apakah itu nama sesungguhnya dari rasul
Bartolomeus, ataukah sekedar dipakai sebagai nama tambahan untuk menunjukkan
bahwa dia adalah anak Tolmai. Rasul Yohanes dalam Injilnya tidak mengatakan
apa–apa tentang rasul yang disebut Bartolomeus itu. Yohanes hanya menulis
tentang seseorang yang dinamakan Natanael, sahabat karib Filipus yang kemudian
mengikuti Yesus (Yoh 1: 45–51). Atas dasar ini, banyak sejarahwan dan ahli
Kitab Suci menyimpulkan bahwa kedua nama itu, Bartolomeus dan Natanael,
menunjuk pada orang yang sama. Kemungkinan Bartolomeus pun adalah sahabat karib
Yohanes.
Dalam perjanjian baru, nama Bartolomeus ditemukan pada ketiga Injil Sinoptik: Matius 10:3, Markus 3:18 dan Lukas 6:14, dan didalam Kisah Para Rasul 1:13. Ia bukanlah seorang nelayan seperti empat rasul lainnya: Andreas, Yohanes, Simon dan Filipus, yang berasal dari Betsaida dan dikenal sebagai nelayan tasik Genesareth. Ia seorang petani, karena berasal dari Kana, sebuah kampung yang cukup jauh dari tasik Genesareth. Lagipula nama ayahnya ‘Tolmai’ berarti ‘petani’. Dua alasan itu diperkuat lagi oleh peristiwa pertemuannya dengan Filipus di kebunnya dibawah pohon ara (Yoh 1:45–51). Yohanes dalam injilnya menggambarkan Bartolomeus sebagai seorang yang jujur dan tulus, bahkan oleh Yesus dia disebut ‘Orang Israel sejati’, yang kemudian menjadi murid setiawan Yesus. Pada peristiwa penampakan Yesus kepada 7 orang rasulNya di tepi danau Tiberias, Natanael juga hadir menyaksikan peristiwa itu. Pada hari Pentekosta, oleh kekuatan Roh Kudus, Bartolomeus menjadi salah satu pendekar Gereja yang mewartakan Injil ke berbagai tempat.
Eusebius, sejarahwan Gereja dari Kaesarea (260–340), dalam bukunya ‘Historia Ecclesiastica’, menceritakan bahwa Bartolomeus menjadi pewarta Injil Kristus dibelahan dunia timur. Santo Hieronimus (340–420), pelanjut karya Eusebius, mengisahkan bahwa Pantaenus Aleksandria, ketika mewartakan Injil di India pada awal abad ketiga, menemukan bukti–bukti kuat tentang karya misioner rasul Bartolomeu. Kepada Pantaenus, orang–orang India menunjukkan satu salinan Injil Mateus yang ditulis dalam bahasa Ibrani untuk membuktikan bahwa mereka (orang–orang India) telah diajar oleh Bartolomeus kira–kira satu setengah abad yang lalu. Hieronimus selanjutnya menjelaskan bahwa Pantaenus kemudian membawa salinan Injil Mateus itu ke Aleksandria.
Catatan–catatan Gereja lainnya tentang periode ini berbicara tentang Bartolomeus yang mewartakan Injil di Hierapolis, Asia Kecil. Di sana Bartolomeus berkarya bersama–sama dengan Filipus. Sepeninggal Filipus dan pembebasannya dari penjara, Bartolomeus mewartakan Injil di provinsi Likaonia, Asia Kecil. Bangsa Armenia pun menyebut Bartolomeus sebagai rasul mereka. Mereka mengatakan bahwa Bartolomeus–lah orang yang pertama yang menobatkan mereka hingga mati sebagai martir Kristus di Albanopolis, tepi Laut Kaspia, pada masa pemerintahan Astyages, Raja Armenia. Selain berkarya diantara orang–orang Armenia, Bartolomeus juga berkarya di Mesopotamia, Mosul (Kurdi, Irak), Babilonia, Kaldea, Arab dan Persia.
Santa Emilia de Vialar, Pengaku Iman
Anna Marguerite Adelaide Emilia de Vialar lahir di
Gaillac, Prancis pada tahun 1797. Pada masa mudanya, Emilia belajar di Paris.
Setelah menyelesaikan studinya, ia memilih berkarya diantara orang–orang sakit
dan miskin. Karyanya ini didukung oleh keuangan dan dorongan moril dari
kakeknya Baron de Portal, seorang dokter yang mengabdi Raja Prancis, Louis
XVIII dan Charles X. Sebaliknya ia mendapat tantangan yang cukup hebat dari
orangtuanya. Ayahnya memaksa dia menikah dengan seorang pemuda pilihan yang
disukai keluarganya. Emilia yang memilih hidup tak menikah, menjauhkan diri
dari orangtuanya. Sepeninggal kakeknya Baron de Portal, Emilia membeli sebuah
rumah dengan uang warisan yang diterima dari kakeknya. Di rumah itu, ia
mulai merintis pendirian Kongregasi Suster–suster Santo Yusuf bersama 10 orang
calon. Tarekat religius baru ini mengabdikan diri dibidang pewartaan orang–orang
sakit dan pelayanan orang miskin, pendidikan kaum muda dan karya misi.
Pendirian Kongregasi ini direstui Tahkta Suci dan disahkan pada tahun 1835.
Tarekat ini berkarya di Balkan, Afrika, Timur Dekat, Burma dan Australia.
Emilia meninggal dunia pada tanggal 24 Agustus 1856, dan dinyatakan ‘kudus’
pada tahun 1951.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
Louis dilahirkan pada tanggal 25 April 1214. Ayahnya
adalah Raja Louis VIII dari Perancis dan ibunya adalah Ratu Blanka. Menurut
cerita, ketika Pangeran Louis masih kecil, ibunya memeluknya erat-erat.
Katanya, “Aku mengasihimu, puteraku terkasih, dengan cinta kasih sebanyak yang
dapat diberikan seorang ibu. Tetapi, aku lebih suka melihatmu mati di bawah
kakiku daripada melihatmu melakukan suatu dosa besar.” Louis tidak pernah
melupakan kata-kata ibunya itu. Ia menghargai iman Katoliknya juga didikan yang
diberikan kepadanya. Ketika usianya dua belas tahun, ayahnya meninggal dunia
dan ia menjadi raja. Ratu Blanka memerintah hingga puteranya genap duapuluh
satu tahun.
Louis menjadi seorang raja yang mengagumkan. Ia
menikah dengan Margaret, puteri seorang pangeran. Mereka saling mengasihi satu
sama lain. Mereka dikarunia sebelas putera puteri. Louis seorang suami dan ayah
yang baik. Dan selama ibunya, Ratu Blanka, hidup, ia menunjukkan sikap hormat
kepadanya. Bagaimana pun sibuknya dia, Louis selalu menyempatkan diri untuk
ikut ambil bagian dalam Misa Harian dan mendaraskan Doa Ofisi. Ia anggota Ordo
Ketiga Fransiskan dan hidup sederhana. Ia murah hati serta adil. Ia memerintah
rakyatnya dengan bijaksana, belas kasihan dan dengan menerapkan prinsip-prinsip
Kristiani sejati. Ia hidup sesuai dengan keyakinannya sebagai seorang Katolik.
Ia tahu bagaimana melerai perdebatan dan perselisihan. Ia mendengarkan mereka
yang miskin dan terabaikan. Ia menyediakan waktu bagi siapa saja, tidak hanya
bagi mereka yang kaya serta berpengaruh. Ia memajukan pendidikan Katolik dan
mendirikan biara-biara.
Seorang sejarawan, Joinville, menulis mengenai riwayat
hidup St. Louis. Ia mengenang bahwa ia mengabdi raja selama duapuluh dua tahun
lamanya. Setiap hari ia ada dekat raja. Dan sepanjang masa itu, ia dapat
mengatakan bahwa tidak pernah sekali pun ia mendengar Raja Louis menyumpah atau
mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. Demikian juga raja tidak mengijinkan
kata-kata demikian diucapkan dalam istananya.
St. Louis merasa bahwa merupakan suatu kewajiban
penting baginya menolong umat Kristiani yang menderita di Tanah Suci. Ia ingin
ikut ambil bagian dalam Perang Salib. Dua kali ia memimpin pasukan berperang
melawan bala tentara Turki. Dalam peperangannya yang pertama, ia tertawan.
Tetapi, bahkan dalam penjara sekali pun, ia bersikap sebagai seorang ksatria
Kristiani sejati. Ia gagah berani dan berbudi luhur dalam segala sikapnya.
Louis kemudian dibebaskan dan kembali ke Perancis untuk mengurus kerajaannya.
Tetapi, begitu ada kesempatan, ia mulai berangkat lagi ke medan perang untuk
melawan musuh iman. Namun demikian dalam perjalanan, raja yang sangat dicintai
rakyatnya itu terjangkit demam tipus. Beberapa jam menjelang kematiannya, ia
berdoa, “Tuhan, sebentar lagi aku memasuki rumah-Mu, bersembah sujud di Bait-Mu
yang kudus, serta memuliakan Nama-Mu.” St. Louis wafat pada tanggal 25 Agustus
tahun 1270. Usianya limapuluh enam tahun. St. Louis dinyatakan kudus oleh Paus
Bonifasius VIII pada tahun 1297.
“Bermurah-hatilah
terhadap mereka yang miskin, kurang beruntung dan menderita. Berikan kepada
mereka bantuan serta penghiburan sebanyak yang kamu mampu.” ~ St. Louis
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
Yosef dilahirkan pada tahun 1556 di kastil ayahnya di
Spanyol. Ia kuliah dan menjadi seorang pengacara. Pada usia duapuluh delapan
tahun, Yosef ditahbiskan sebagai imam. Pastor Yosef diserahi jabatan-jabatan
penting dan ia melaksanakan tugas-tugasnya itu dengan baik. Namun demikian, ia
merasa bahwa Tuhan memanggilnya untuk melakukan suatu karya istimewa bagi
anak-anak miskin di Roma. Taat pada panggilan Tuhan, Pastor Yosef meninggalkan
segala yang ia miliki di Spanyol dan pergi ke Roma. Di sana, hatinya tergerak
oleh belas kasihan kepada anak-anak yatim piatu dan anak-anak gelandangan yang
ia jumpai di mana-mana. Mereka diacuhkan serta diterlantarkan. Pastor Yosef
mulai mengumpulkan mereka dan mengajarkan semua mata pelajaran umum kepada
mereka, terutama tentang iman. Para imam yang lain mulai bergabung dengannya.
Tak lama kemudian Pastor Yosef telah menjadi pemimpin dari suatu ordo religius
baru. Tetapi, ia tak pernah membiarkan tugas-tugasnya sebagai pendiri dan
pemimpin biara membuatnya berhenti mengajar anak-anak yang dikasihinya. Ia
bahkan menyapu lantai kelas sendiri. Seringkali ia mengantarkan anak-anak yang
kecil pulang ke rumah mereka ketika jam pelajaran telah usai.
St. Yosef harus mengalami banyak penderitaan karena
ulah beberapa orang yang hendak mengambil alih ordonya. Mereka ingin
mengelolanya sesuai dengan cara mereka. Suatu ketika ia bahkan diarak di
jalan-jalan bagaikan seorang tahanan. Ia nyaris dijebloskan ke dalam penjara,
meskipun imam yang baik ini tidak melakukan kesalahan apapun. Ketika umurnya
sembilanpuluh tahun, Pastor Yosef menerima kabar yang sangat menyedihkan.
Ordonya dilarang terus berkarya. Namun demikan, menanggapi tragedi tersebut
Pastor Yosef hanya mengatakan, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil;
terpujilah nama-Nya. Karyaku diselenggarakan semata-mata karena cinta kepada
Tuhan.”
Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1648, orang kudus
ini wafat dalam tenang dan damai. Usianya sembilanpuluh dua tahun. Beberapa
tahun sesudah wafatnya, ordonya, Ordo Imam-imam Piarist, diijinkan untuk
melanjutkan kembali karya St. Yosef yang mengagumkan. St. Yosef dinyatakan
kudus oleh Paus Klemens XIII pada tahun 1767 dan dinyatakan sebagai santo
pelindung sekolah-sekolah Kristen pada tahun 1948 oleh Paus Pius XII.
“Siapa
yang bertanggung jawab mengajar haruslah dikarunia kasih-sayang yang mendalam,
kesabaran yang besar, dan terutama, kerendahan hati yang luar biasa.” ~
St. Yosef dari Calasanz
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
St. Elizabeth Bichier.
Elizabeth dilahirkan pada tahun 1773. Ketika masih
kanak-kanak, permainan kesukaannya ialah membuat benteng-benteng di pasir.
Bertahun-tahun kemudian, wanita Perancis yang kudus ini memikul tanggung jawab
pembangunan biara-biara bagi ordo para biarawati yang didirikannya. “Aku rasa
membangun memang dimaksudkan untuk menjadi pekerjaanku,” katanya bergurau,
“sebab aku telah memulainya sejak masih kanak-kanak!” Sesungguhnya, hingga
tahun 1830, yaitu delapan tahun sebelum wafatnya, Elizabeth telah mendirikan
lebih dari enampuluh biara.
Selama masa Revolusi Perancis, keluarga Elizabeth
kehilangan segala harta milik mereka. Hal ini terjadi karena kaum republik
menyita harta milik para bangsawan. Tetapi, gadis muda berusia sembilan belas
tahun yang sangat pandai ini belajar hukum agar dapat memenangkan kasus
keluarganya di pengadilan. Ketika Elizabeth berhasil memenangkan perkaranya dan
menyelamatkan keluarganya dari kehancuran, tukang sepatu desa berseru,
“Sekarang, satu-satunya hal yang perlu engkau lakukan adalah menikah dengan
seorang kaum Republik yang baik!” Namun demikian, Elizabeth tidak memiliki niat
untuk menikah dengan siapa pun, entah dari kalangan republik atau pun dari
kalangan bangsawan. Di balik sebuah gambar Bunda Maria, ia menulis, “Aku
membaktikan serta mempersembahkan diriku kepada Yesus dan Maria untuk
selama-lamanya.”
Dengan bantuan St. Andreas Fournet, Elizabeth
membentuk suatu ordo religius baru yang diberi nama Putri-putri Salib. Ordo
baru ini berkarya dengan mengajar anak-anak dan melayani orang sakit. Elizabeth
siap menghadapi segala bahaya demi menolong sesama. Suatu ketika ia mendapati
seorang gelandangan terbaring sakit di sebuah gudang. Ia membawanya ke rumah
sakit biara dan melakukan segala yang ia mampu untuknya hingga gelandangan itu
meninggal dunia. Keesokan paginya, kepala polisi datang memberitahu bahwa ia
ditangkap karena melindungi seseorang yang diyakini sebagai seorang penjahat.
Elizabeth tidak takut, “Aku hanya melakukan apa yang mungkin engkau sendiri
akan lakukan, Tuan,” katanya. “Aku menemukan orang sakit yang malang ini, dan
merawatnya hingga ia meninggal. Aku siap untuk mengatakan kepada hakim apa yang
telah terjadi.” Tentu saja, kejujuran dan belas kasihan santa kita ini mendapat
banyak simpati. Orang banyak mengagumi jawaban-jawabannya yang jujur, tegas dan
jelas.
Sahabat yang membantunya mendirikan ordo, St. Andreas
Fournet, wafat pada tahun 1834. St. Elizabeth menulis kepada para biarawatinya,
“Inilah kehilangan kita yang paling besar dan paling menyedihkan.” St.
Elizabeth wafat pada tanggal 26 Agustus 1838. Ia dinyatakan kudus oleh Paus
Pius XII pada tahun 1947.
Bagaimana
aku bertindak ketika yang lain menantang reaksiku?
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
Santa Teresia Yornet, Perawan
Teresia lahir di Aytona, Spanyol
pada tanggal 9 Januari 1843. Orangtuanya adalah petani miskin yang saleh dan
sangat beribadat kepada Tuhan. Teresia belajar di sekolah setempat hingga
memperoleh ijazah guru. Selama beberapa tahun ia mengajar di sekolah dasar
Argensola. Masyarakat sekitar senang sekali dengannya karena carana mendidik
anak–anak sangat baik.
Meskipun dunia pendidikan merupakan
bidang kerja yang disenanginya, namun dia mencita–citakan sesuatu yang lebih
mulia, yakni menjadi biarawati. Tak lama kemudian ia masuk novisiat
suster–suster Klaris. Tetapi karena kesehatannya terganggu, Teresia tidak
diperkenankan mengikrarkan kaulnya yang pertama. Ia lalu keluar dari tarekat
suster–suster Klaris. Kemudian oleh seorang imam yang saleh, Teresia diminta
untuk turut mendirikan sebuah kongregasi suster yang diabdikan untuk pelayanan
dan perawatan orang–orang tua renta yang sakit dan miskin.
Pada tahun 1873 Teresia bersama
beberapa orang gadis membentuk Kongregasi suster–suster Kecil. Dia diangkat
sebagai pemimpin Kongregasi baru ini. Oleh suster–suster rekannya, dia disebut
sebagai Teresia a Jesu. Dibawah kepemimpinannya, kongregasi ini berkembang
pesat. Limabelas tahun kemudian, tatkala tarekat baru tersebut disahkan oleh
Tahkta Suci, anggota–anggotanya telah bekerja di 58 rumah perawatan orang–orang
jompo di Spanyol dan kemudian di Amerika Selatan. Sulit sekali membayangkan
berbagai penderitaan yang harus ditanggung oleh suster–suster tersebut. Salah
satu peristiwa yang baru menimpa mereka adalah meninggalnya 24 orang suster
serta 70 orang tua karena serangan penyakit kolera. Menghadapi musibah besar
ini, Teresia tak bisa berbuat apa–apa kecuali menyerahkan diri kepada
penyelenggaraan Ilahi Allah. Imannya yang kokoh akan Allah memberi keteguhan
kepada suster–suster lainnya yang melanjutkan karyanya demi kebahagiaan orang–orang
tua yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Teresia Yornet meinggal dunia pada
tanggal 26 Agustus.
Santo Zepherinus, Paus dan Martir
Zepherinus terpilih
menjadi Paus pada tahun 199. Ia memimpin Gereja dalam situasi yang sangat sulit
karena aksi penganiayaan terhadap umat oleh Kaisar Lucius Septimus Severus. Di
samping harus berusaha keras mengembalikan orang–orang beriman yang
murtad, Zepherinus pun harus berjuang menegakkan iman yang benar
dihadapan petinggi Kekaisaran Roma dan para heretic trinitarian. Untuk itu ia
dengan setia dan penuh kasih sayang mendampingi para tahanan dan orang–orang
berdosa yang bertobat. Paus Zepherinus mati sebagai martir Kristus
pada tahun 217. Jenasahnya dikuburkan di pekuburan Santo Kallistus di Roma di
samping Santo Tarsisius, martir Ekaristi pada abad ketiga.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
27 Agustus,
Santa Monika, Janda.
Monika, Ibu Santo Agustinus dari Hippo, adalah seorang
ibu teladan. Iman dan cara hidupnya yang terpuji patut dicontoh oleh ibu-ibu
Kristen terutama mereka yang anaknya tersesat oleh berbagai ajaran dan bujukan
dunia yang menyesatkan. Riwayat hidup Monika terpaut erat dengan hidup anaknya
Santo Agustinus yang terkenal bandel sejak masa mudanya. Monika lahir di
Tagaste, Afrika Utara dari sebuah keluarga Kristen yang saleh dan beribadat.
Ketika berusia 20 tahun, ia menikah dengan Patrisius, seorang pemuda kafir yang
cepat panas hatinya.
Dalam kehidupannya bersama Patrisius, Monika mengalami
tekanan batin yang hebat karena ulah Patrisius dan anaknya Agustinus. Patrisius
mencemoohkan dan menertawakan usaha keras isterinya mendidik Agustinus menjadi
seorang pemuda yang luhur budinya. Namun semuanya itu ditanggungnya dengan
sabar sambil tekun berdoa untuk memohon campur tangan Tuhan. Bertahun-tahun lamanya
tidak ada tanda apa pun bahwa doanya dikabulkan Tuhan. Baru pada saat-saat
terakhir hidupnya, Patrisius bertobat dan minta dipermandikan. Monika sungguh
bahagia dan mengalami rahmat Tuhan pada saat-saat kritis suaminya.
Ketika itu Agustinus berusia 18 tahun dan sedang
menempuh pendidikan di kota Kartago. Cara hidupnya semakin menggelisahkan hati
ibunya karena telah meninggalkan imannya dan memeluk ajaran Manikeisme yang
sesat itu. Lebih dari itu, di luar perkawinan yang sah, ia hidup dengan seorang
wanita hingga melahirkan seorang anak yang diberi nama Deodatus. Untuk
menghindarkan diri dari keluhan ibunya, Agustinus pergi ke Italia. Namun ia
sama sekali tidak luput dari doa dan air mata ibunya.
Monika berlari meminta bantuan kepada seorang uskup.
Kepadanya uskup itu berkata: “Pergilah kepada Tuhan! Sebagaimana engkau hidupa,
demikian pula anakmu, yang bagimu telah kaucurahkan banyak air mata dan doa
permohonan, tidak akan binasa. Tuhan akan mengembalikannya kepadamu.” Nasehat
pelipur lara itu tidak dapat menenteramkan hatinya. Ia tidak tega membiarkan
anaknya lari menjauhi dia, sehingga ia menyusul anaknya ke Italia. Di sana ia
menyertai anaknya di Roma maupun di Milano. Di Milano, Monika berkenalan dengan
Uskup Santo Ambrosius. Akhirnya oleh teladan dan bimbingan Ambrosius, Agustinus
bertobat dan bertekad untuk hidup hanya bagi Allah dan sesamanya. Saat itu bagi
Monika merupakan puncak dari segala kebahagiaan hidupnya. Hal ini terlukis di
dalam kesaksian Agustinus sendiri perihal perjalanan mereka pulang ke Afrika:
“Kami berdua terlibat dalam pembicaraan yang sangat menarik, sambil melupakan
liku-liku masa lalu dan menyongsong hari depan. Kami bertanya-tanya, seperti
apakah kehidupan para suci di surga… Dan akhirnya dunia dengan segala isinya
ini tidak lagi menarik bagi kami. Ibu berkata: “Anakku, bagi ibu sudah ada
sesuatu pun di dunia ini yang memikat hatiku. Ibu tidak tahu untuk apa mesti
hidup lebih lama. Sebab, segala harapan ibu di dunia ini sudah terkabul”. Dalam
tulisan lain, Agustinus mengisahkan pembicaraan penuh kasih antara dia dan
ibunya di Ostia: “Sambil duduk di dekat jendela dan memandang ke laut biru yang
tenang, ibu berkata: “Anakku, satu-satunya alasan yang membuat aku masih ingin
hidup sedikit lebih lama lagi ialah aku mau melihat engkau menjadi seorang
Kristen sebelum aku menghembuskan nafasku. Hal itu sekarang telah dikabulkan
Allah, bahkan lebih dari itu, Allah telah menggerakkan engkau untuk
mempersembahkan dirimu sama sekali kepadaNya dalam pengabdian yang tulus
kepadaNya. Sekarang apa lagi yang aku harapkan?”Beberapa hari kemudian, Monika
jatuh sakit. Kepada Agustinus, ia berkata: “Anakku, satu-satunya yang
kukehendaki ialah agar engkau mengenangkan daku di Altar Tuhan.” Monika
akhirnya meninggal dunia di Ostia, Roma. Teladan hidup santa Monika menyatakan
kepada kita bahwa doa yang tak kunjung putus, tak dapat tiada akan didengarkan
Tuhan.
Sumber : http://www.imankatolik.or.id
28 Agustus,
Santo Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja
Agustinus adalah Bapa Gereja purba yang terkenal. Ia
lahir di Tagaste (sekarang: Soukh-Ahras), Afrika Utara pada tanggal 13 November
354. Ibunya, Monika, seorang yang beriman Kristen dari sebuah keluarga yang
taat agama; sedangkan ayahnya Patrisius, seorang tuan tanah dan sesepuh kota
yang masih kafir. Berkat semangat doa Monika yang tak kunjung padam, Patrisius
bertobat dan dipermandikan menjelang saat kematiannya. Kekafiran Patrisius
sungguh berpengaruh besar pada diri anaknya Agustinus. Karena itu Agustinus
belum juga dipermandikan menjadi Kristen meskipun ia sudah besar. Usaha ibunya
untuk menanamkan benih iman Kristen padanya seolah-olah tidak berdaya
mematahkan pengaruh kekafiran ayahnya.
Semenjak kecil Agustinus sudah menampilkan kecerdasan yang tinggi. Karena itu ayahnya mencita-citakan agar ia menjadi seorang yang terkenal. Ia masuk sekolah dasar di Tagaste. Karena kecerdasannya, ia kemudian dikirim untuk belajar bahasa latin dan macam-macam tulisan latin di Madauros. Pada usia 17 tahun, ia di kirim ke Kartago untuk belajar ilmu retorika. Di Kartago, ia belajar dengan tekun hingga menjadi seorang murid yang terkenal. Namun hidupnya tidak lagi tertib oleh aturan moral. Ia menganut aliran Manikeisme, suatu sekte keagamaan dari Persia yang mengajarkan bahwa semua barang material adalah buruk. Minatnya pada ajaran ini berakhir ketika ia menyaksikan kebodohan Faustus, seorang pengajar Manikeisme. Selanjutnya selama beberapa tahun, ia meragukan semua kebenaran agama-agama.
Pada tahun 383 ia pergi ke Roma lalu ke Milano, kota pemerintahan dan kota kediaman Uskup Ambrosius. Di Milano ia mengajar ilmu retorika. Banyak orang Roma berbondong-bondong datang kepadanya hanya untuk mendengarkan kuliah dan pidatonya. Di kota itupun ia berkenalan dengan Uskup Santo Ambrosius, seorang mantan gubernur yang saleh. Ia menyaksikan dari dekat cara hidup para biarawan yang bijaksana, ramah dan saling mengasihi. Hatinya tersentuh dan mulailah ia berpikir: “Apa yang mendasari hidup mereka? Injilkah yang mewarnai hidup mereka itu?” Kecuali itu, ia sering mendengarkan kotbah-kotbah Uskup Ambrosius dan tertarik pada semua ajarannya. Semuanya itu kembali menyadarkan dia akan nasehat-nasehat ibunya tatkala ia masih di Tagaste. Suatu hari, ia mendengar suara ajaib seorang anak: “Ambil dan bacalah!” Tanpa banyak berpikir, ia segera menjamah kitab Injil itu, membukanya dan membaca: “Marilah kita hidup sopan seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Rom 13:13-14).
Agustinus yang telah banyak mendalami filsafat itu akhirnya terbuka pikirannya dan melihat kebenaran sejati, yakni wahyu ilahi yang dibawakan Yesus Kristus. Ia kemudian bertobat dan bersama dengan sahabatnya Alipius, ia dipermandikan pada tahun 387. Dalam bukunya ‘Confession’, ia menulis riwayat hidup dan pertobatannya dan dengan terus terang mengakui betapa ia sangat terbelenggu oleh kejahatan dosa dan ajaran Manikeisme. Suara hatinya terus mendorong dia agar memperbaiki cara hidupnya seperti banyak orang lain yang meneladani Santo Antonius dari Mesir.
Pada tahun 388, ia kembali ke Afrika bersama ibunya Monika. Di kota pelabuhan Ostia, ibunya meninggal dunia. Tahun-tahun pertama hidupnya di Afrika, ia bertapa dan banyak berdoa bersama beberapa orang rekannya. Kemudian ia ditabhiskan menjadi imam pada tahun 391, dan bertugas di Hippo sebagai pembantu uskup di kota itu. Sepeninggal uskup itu pada tahun 395, ia dipilih menjadi Uskup Hippo. Selama 35 tahun ia menjadi pusat kehidupan keagamaan di Afrika. Rahmat Tuhan yang besar atas dirinya dimuliakannya di dalam berbagai bentuk kidung dan tulisan. Tulisan-tulisannya meliputi 113 buah buku, 218 buah surat dan 500 buah kotbah. Tak terbilang banyaknya orang berdosa yang bertobat karena membaca tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisannya itu hingga kini dianggap oleh para ahli filsafat dan teologi sebagai sumber penting dari pengetahuan rohani. Semua kebenaran iman Kristiani diuraikan secara tepat dan mendalam sehingga mampu menggerakkan hati orang.
Sebagai seorang uskup, Agustinus sangat menaruh perhatian besar pada umatnya terutama yang miskin dan melarat. Dialah yang mendirikan asrama dan rumah sakit pertama di Afrika Utara demi kepentingan umatnya. Agustinus meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 430 tatkala bangsa Vandal mengepung Hippo. Jenazah Agustinus berhasil diamankan oleh umatnya dan kini dimakamkan di basilik Santo Petrus.
Santo Hermes, Martir
Hermes adalah prefek kota Roma yang kemudian bertobat
dan menjadi Kristen. Ia dibunuh bersama Paus Aleksander I pada tahun 116 pada
masa pemerintahan Kaisar Hadrianus. Jenazahnya dimakamkan di Jalan Salasia,
Roma.
Santo Musa Hitam, Pengaku Iman
Musa berasal dari Etiopia. Ia bekerja pada seorang majikan
kaya raya, namun kemudian dipecat karena melakukan banyak kesalahan dalam
tugasnya. Lalu ia menjadi pemimpin suatu kawanan perampok yang merajalela di
Mesir. Oleh sentuhan rahmat Tuhan, ia sekonyong-konyong bertobat dan menjadi
biarawan yang saleh sehingga dianggap layak untuk ditabhiskan menjadi imam.
Ketika ia mengenakan jubah putih untuk merayakan misa pertama, Uskup berseru:
“Lihatlah, orang hitam ini kini telah menjadi putih bersih!” Musa menjawab:
“Itu bagian luarnya saja! Tuhan lebih tahu, bahwa hatiku masih hitam seperti
kulitku”. Pada waktu suku Berber mengobrak-abrik biaranya, ia tidak melawan
sedikitpun dan membiarkan diri dibunuh. Di biaranya-Dair al-Baramus di Wadi
Natrun-hingga kini para biarawan masih terus mendendangkan madah pujian kepada
Tuhan dan berdoa dengan perantaraannya. Ia meninggal pada tahun 395.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
Wafatnya Santo Yohanes Pembaptis.
Yohanes Pembaptis adalah saudara sepupu Yesus. Ibunya
adalah Elisabet dan ayahnya adalah Zakharia. Bab pertama dalam Injil Lukas
mengisahkan betapa menakjubkannya kelahiran Yohanes. Injil Markus, bab 6:14-29,
mencatat betapa tragisnya kematian Yohanes Pembaptis. Sungguh berat resiko yang
harus diterima Yohanes dalam mengajarkan kebenaran.
Raja Herodes dan isterinya menolak untuk mendengar
bagaimana harus hidup di hadapan Tuhan. Mereka ingin membuat
peraturan-peraturan mereka sendiri dan hidup dengan cara mereka sendiri.
Yohanes Pembaptis harus membayar mahal harga kejujurannya. Tetapi, ia memang
seorang yang teguh pada pendiriannya. Yohanes tidak akan pernah tinggal diam
ketika dosa dan ketidakadilan terjadi. Ia mengajak orang banyak untuk bertobat;
ia ingin agar semua orang berdamai kembali dengan Tuhan. Yohanes mengerti bahwa
kebahagiaan sejati berasal dari Tuhan.
Yohanes berkhotbah tentang baptis atas pertobatan,
mempersiapkan orang untuk kedatangan Mesias. Ia membaptis Yesus di Sungai
Yordan dan memperhatikan dengan damai sukacita sementara pewartaan Yesus
dimulai. Yohanes mendorong murid-muridnya sendiri untuk mengikuti Yesus. Ia
tahu bahwa Yesus akan semakin terkenal sementara ia sendiri akan dilupakan.
Pada bab pertama Injil Yohanes, Yohanes Pembaptis menyebut dirinya sendiri
sebagai suara yang berseru-seru di padang gurun untuk meluruskan jalan Tuhan.
Ia mengundang orang banyak untuk bersiap-siap, mempersiapkan diri untuk
mengenali Sang Mesias. Pesannya sama untuk kita masing-masing.
Bagaimana
jika aku tidak tinggal diam ketika melihat ketidakadilan di sekitarku?
Bersediakah aku membayar harga untuk hidup dalam kebenaran?
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
Santa Sabina, Martir
Sabina adalah isteri seorang bangsawan Romawi Kristen
bernama Valentinus. Ia menjadi Kristen di bawah bimbingan Seraphia, seorang
gadis Kristen yang saleh. Sabin-lah yang mengurusi pemakaman Seraphia ketika ia
dibunuh oleh kaki tangan kaisar Hadrianus pada abad kedua. Perbuatannya ini
akhirnya juga menyebabkan dia ditangkap dan dibunuh. Sabina dihormati sebagai pelindung
ibu rumah tangga dan anak-anak.
Sumber : http://www.imankatolik.or.id
30 Agustus,
St. Pammakius.
Pammakius adalah seorang awam Kristiani terpandang
yang hidup pada abad keempat. Sewaktu ia masih seorang pelajar, ia bersahabat
dengan St Hieronimus. Mereka tetap menjalin persahabatan sepanjang hidup mereka
dan terus saling membina hubungan baik. Isteri Pammakius adalah Paulina, puteri
kedua St Paula, seorang sahabat St Hieronimus yang lain. Ketika Paulina wafat
pada tahun 397, St Hieronimus dan St Paulinus dari Nola menulis surat yang amat
menyentuh hati penuh simpati, dukungan dan janji doa. Pammakius patah semangat
karena kematian isterinya. Ia melewatkan sepanjang sisa hidupnya dengan
melayani di rumah singgah yang didirikannya bersama St Fabiola. Di sana, para
peziarah yang datang ke Roma disambut baik dan dibantu. Pammakius dan Fabiola
dengan senang hati menerima dan bahkan mengutamakan mereka yang miskin, sakit
dan cacat. Pammakius yakin bahwa isterinya yang telah meninggal dunia menyertainya
sementara ia melakukan karya-karya belas kasih. Paulina dikenal karena kasihnya
kepada mereka yang miskin papa dan menderita. Suaminya percaya bahwa melayani
mereka merupakan cara terbaik untuk menyampaikan penghormatan dan kasih kepada
isterinya.
St Pammakius jauh terlebih lemah lembut dalam
perkataan dan perbuatan dibandingkan St Hieronimus yang pemarah. Kerap kali ia
menasehati St Hieronimus agar memperhalus atau memilih kata-kata yang lebih
lembut, tetapi St Hieronimus biasa mengabaikannya. Sebagai contoh, seorang
bernama Jovinian mengajarkan suatu kesalahan yang serius. Hieronimus menulis
sebuah tulisan yang dengan keras membeberkan kesalahan-kesalahan Jovinian.
Pammakius membaca tulisan itu dan menyampaikan
saran-saran baik untuk mengganti kata-kata yang terlalu keras. St Hieronimus
berterima kasih kepada sahabatnya atas perhatiannya, tetapi ia tidak melakukan
koreksi. Pammakius juga berusaha menengahi suatu perselisihan antara sahabatnya
St Hieronimus dengan seorang bernama Rufinus. Tetapi tampaknya Pammakius tak
dapat menggerakkan Hieronimus untuk bersikap lebih lembut dalam menangani orang
atau masalah ini.
St Pammakius mempunyai sebuah gereja di rumahnya.
Sekarang gereja itu menjadi Gereja Passionis Santo Yohanes dan Paulus. St
Pammakius wafat pada tahun 410 pada waktu kaum Goths mengambil alih kekuasaan
di Roma. St Pammakius tahu bagaimana menjadi seorang sahabat sejati. Ia seorang
yang sportif dan jujur. Kita dapat mohon padanya untuk membantu kita menjadi
sahabat sejati bagi teman-teman kita sebagaimana diteladankannya.
Bagaimanakah
aku dapat bersikap sportif dan jujur dalam hubunganku dengan sesama?
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
Beato Ghabra Mikael, Martir
Ghabra Mikael-yang berarti ‘hamba dari Mikael’-adalah
martir bangsa Afrika. Ia lahir di Etiopia pada tahun 1790. Semenjak kecil, ia
hidup dan dididik di dalam lingkungan dan iman bidaah Arianisme yang menyangkal
kemanusiaan Yesus Kristus. Ghabra dikenal cerdas dan saleh. Setelah menyelesaikan
studinya di sekolah menengah, ia masuk biara Mertulai-Miryam di Etiopia. Oleh
rekan-rekannya ia dikenal sebagai seorang biarawan yang saleh dan pintar, namun
ia dicurigai sebagai seorang yang tidak menerima ajaran bidaah Arianisme.
Meskipun demikian, Ghabra tetap kokoh pada pendiriannya. Ia tetap tekun
mempelajari teologi dan berdoa memohon penerangan ilahi agar dapat menemukan
kebeneran sejati mengenai Yesus Kristus. Ia pun rajin mengunjungi berbagai
biara yang tersebar di kawasan itu untuk mempelajari cara hidup mereka. Seluruh
hidupnya hingga berusia 50 tahun boleh dikatakan merupakan suatu usaha
pencarian terus menerus kebenaran sejati Yesus Kristus. Apa yang diajarkan
Arianisme ditolak mentah-mentah. Sebaliknya ia mulai lebih tertarik pada ajaran
yang disebarkan oleh iman Katolik, bahwa Yesus Kristus itu sungguh Allah dan
sungguh manusia.
Oleh pengaruh Yustinus de Yakonis, seorang uskup dari tarekat Kongregasi Misi, Ghabra dengan tegas memutuskan untuk memeluk iman Katolik. Ia bertobat pada tahun 1844. Tujuh tahun kemudian (1851), Yustinus menabhiskan dia menjadi imam. Bersama uskup Yustinus, Ghabra giat mengajar agama dan membangun sebuah kolose untuk mendidik anak-anak Etiopia. Tas restu Uskup Yustinus, ia pun mendirikan sebuah seminari untuk mendidik calon-calon imam pribumi Etiopia.
Semua kegiatan ini menimbulkan amarah besar dari para penganut Arianisme terutama Abuna Salama, Uskup Gereja Arian. Atas hasutannya, Teodorus II, raja Abessinia, melancarkan penganiayaan besar atas semua orang lain yang tidak menganut ajaran Arianisme. Ghabra bersama beberapa orang katolik pengikutnya ditangkap dan disesah. Ghabra dipenjarakan di dalam sebuah kandang ternak yang sangat kotor. Setiap kali disesah, ia dengan tenang dan tegas menjawab: “Karena imanku aku akan tetap melawan kamu, namun demi cinta kasih Kristiani aku akan terus berbuat baik kepada kamu.” Akhirnya karena penderitaan yang ditanggungnya dan karena serangan penyakit kolera, Ghabra meninggal dunia pda tanggal 28 Agustus 1855.
Ghabra, seorang martir Kristus yang kokoh imannya. Seluruh hidup dan perjuangannya dapat dikatakan secara ringkas sebagai suatu pemuliaan terhadap Sabda Allah yang menjadi manusia. Ia meninggal dunia sebagai seorang imam yang saleh dari tarekat Kongregasi Misi atau tarekat Imam-Imam Lazaris.
Santo Heribertus, Uskup
Heribertus lahir di kota Worms, Jerman pada tahun 970.
Orangtuanya mempercayakan dia kepada Abbas Gorsse, pemimpin Biara Benediktin
Lorraine untuk dididik sesuai dengan cara hidup Kristiani. Pendidikan dan cara
hidup di biara itu berhasil menanamkan dalam batinnya hasrat yang kuat untuk
menjalani hidup membiara. Namun cita-citanya itu tidak direstui oleh ayah dan
sanak keluarganya. Heribertus segera dipanggil pulang ke Worms agar tidak lagi
terpengaruh oleh cara hidup membiara.
Namun rencana Tuhan atas dirinya tak terselami manusia. Meskipun orangtuanya berusaha keras menghindarkan dia dari cita-cita hidup membiara itu, ia tetap menunjukkan kesalehan hidup yang mengagumkan. Melihat cara hidupnya itu, ia kemudian ditabhiskan menjadi imam. Oleh Raja Otto III, ia diangkat menjadi penasehat pribadi baik dalam kehidupan politik maupun kehidupan rohani. Pretasi kariernya terus meningkat dengan pengangkatannya sebagai Vikaris Jendral Keuskupan Koln, dan kemudian sebagai Uskup Agung Koln.
Heribertus memanfaatkan kedudukannya sebagai penasehat pribadi raja dan sebagai imam untuk menunjukkan cinta kasih Allah kepada orang banyak. Bersama Otto III, ia mendirikan gereja dan biara di kota Deutss, sebelah kota Rhein, atas tanggungan kerajaan. Ia dengan giat merawat orang-orang sakit dan memperhatikan nasib para kaum miskin. Sebagian besar pendapatannya dibagi baik untuk kepentingan Gereja maupun untuk kepentingan aksi-aksi sosial itu. Ia sendiri hidup dari sisa-sisa uang yang diterimanya dari raja. Kepada imam-imamnya yang mengalami kesulitan keuangan, ia mendermakan juga sebagian dari pendapatannya. Sekali peristiwa, ia menemani Otto III ke Italia untuk sesuatu urusan politik. Tak terduga-duga, Otto III meninggal seketika karena keracunan.
Dalam kebingungan dan kesedihan, ia membawa pulang jenazah Otto III ke Aachen, Jerman dan menguburkannya secara terhormat. Peristiwa ini menimbulkan pertentangan hebat antara dia dan Pangeran Heinrich II. Ia dituduh sengaja meracuni Otto III dengan maksud untuk mengambil alih kekuasaan sebagai raja. Ketegangan ini baru mereda ketika Pangeran Heinrich dilantik menjadi raja menggantikan ayahnya.
Tanpa menaruh dendam kepada Heinrich, Heribertus dengan senang hati melepaskan tugasnya sebagai penasehat raja dan mulai memusatkan perhatiannya kepada kehidupan rohaninya dan pelayanan umat. Ia mulai lebih banyak berdoa dan melakukan silih. Pada musim kering, ia bersama umat mengadakan perarakan dari Gereja Santo Severinus ke gereja Santo Pantaleon. Dalam kotbah-kotbahnya ia menghimbau agar umat bertobat dan percaya kepada kerahiman Allah. Kepada imam-imamnya, ia mengadakan kunjungan-kunjungan pastoral dan menggalakkan pembinaan rohani untuk meneguhkan mereka dalam panggilan dan karyanya. Heribertus dikenal sebagai seorang uskup yang saleh dan sayang pada umatnya. Ia meninggal dunia pada tahun 1021 karena serangan penyakit.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id
St. Aidan.
Aidan adalah seorang biarawan Irlandia yang hidup pada
abad ketujuh. Ia tinggal di biara besar di Iona yang didirikan St Kolumbanus.
St Oswald menjadi Raja Inggris Utara pada tahun 634. Raja mengundang para
misionaris untuk mewartakan Injil kepada rakyatnya yang masih kafir. Misionaris
pertama yang berangkat segera pulang kembali dengan mengeluh bahwa orang-orang
Inggris amat kasar, keras kepala dan liar. Para biarawan berkumpul bersama
untuk merundingkan situasi ini. “Menurutku,” kata St Aidan kepada biarawan yang
kembali itu, “engkau terlalu keras dengan orang-orang ini.” Ia kemudian
menjelaskan bahwa, sebagaimana dikatakan St Paulus, terlebih dahulu
ajaran-ajaran yang mudahlah yang diberikan. Ketika orang-orang telah bertambah
kuat dalam Sabda Allah, barulah dapat dimulai ajaran-ajaran yang lebih sempurna
mengenai hukum-hukum Tuhan yang kudus.
Ketika para biarawan mendengar nasehat yang bijaksana
itu, mereka berpaling kepada Aidan. “Sebaiknya engkaulah yang pergi ke Inggris
Utara untuk mewartakan Injil,” kata mereka. Aidan pergi dengan suka hati. Ia
menerima tugas baru ini dengan kerendahan hati dan semangat doa. Ia mulai
dengan berkhotbah. Raja St Oswald sendiri yang menerjemahkan khotbah-khotbah
Aidan ke dalam bahasa Inggris hingga Aidan menguasai bahasa Inggris dengan
lebih baik. St Aidan berkelana ke seluruh penjuru negeri, selalu dengan
berjalan kaki. Ia bekhotbah dan menolong rakyat. Ia melakukan banyak perbuatan
baik dan amat dikasihi oleh umatnya. Setelah tigapuluh tahun masa pelayanan St
Aidan, setiap biarawan atau imam yang datang ke daerah itu akan disambut dengan
penuh sukacita oleh segenap penduduk desa. Di Pulau Lindisfarne, St Aidan
mendirikan sebuah biara besar. Betapa banyak orang kudus dihasilkan dari sana
hingga Lindisfarne dikenal sebagai Pulau Kudus. Sedikit demi sedikit, pengaruh
pewartaan yang giat ini mengubah Inggris Utara menjadi sebuah pulau Kristen
yang beradab. St Aidan wafat pada tahun 651.
Kita dapat belajar dari kisah hidup St Aidan bahwa
kesaksian seorang yang baik hati dan penuh sukacita mendatangkan pengaruh kuat
pada orang-orang lain. Apabila kita membutuhkan pertolongan untuk melihat
kebaikan dalam diri orang lain, kita dapat membisikkan doa kepada St Aidan.
Marilah
pada hari ini kita berdoa bagi mereka semua yang berkarya jauh dari tanah air
demi mewartakan Injil.
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin Pauline Books & Media.”
Santo Raymundus Nonnatus, Pengaku Iman
Julukan ‘Nonnatus’ yang berarti ‘Yang tidak
dilahirkan’ sertamerta menunjukkan kepada kita bahwa ada suatu keanehan seputar
kelahiran Raymundus. Memang Raymundus tidak lahir seperti biasanya. Ibunya
meninggal dunia karena sakit keras selagi Raymundus masih ada dalam kandungan.
Demi menyelamatkan dia, dokter terpkasa melakukan operasi terhadap ibunya yang
sudah tidak bernyawa lagi. Dokter berhasil mengeluarkan dia dari rahim ibunya.
Karena itulah, ia dijuluki ‘Nonnatus’.
Raymundus lahir di Portello Katalonia, Spanyol pada tahun 1204. Ayahnya seorang bangsawan dari keluarga Sarrois yang disebut juga keluarga Segers. Meskipun berdarah bangsawan, namun keluarganya hidup miskin dan serba berkekurangan. Raymundus mengalami kegetiran hidup selama masa mudanya. Meskipun terlilit kemiskinan, ia tetap riang. Dalam doa dan imannya yang teguh, ia menyerahkan hidupnya kepada penyelenggaraan ilahi Allah. Dalam situasi sulit ini, ia mengatakan keinginannya untuk menjadi seorang biarawan. Ayahnya tidak merestui dan menyuruh dia mengusahakan kebun mereka yang terletak jauh dari kampung halaman dengan maksud agar dia melupakan cita-citanya itu. Namun usaha sang ayah tidak berhasil. Sebaliknya Raymundus lebih mempunyai waktu untuk berdoa dan merenung. Setelah mengalami banyak kesulitan, ia diterima oleh Santo Petrus Nilaskus dalam tarekat Marcederian. Ordo ini didirikan pada tahun 1256 dengan tujuan pokok ialah membebaskan para budak dan tawanan yang beragama Kristen dari tangan-tangan orang Islam. Mula-mula Raymundus bekerja di Barcelona selama 3 tahun. Kemudian ia diutus ke Aljair, Afrika Utara untuk menebus para budak dan tawanan Kristen dari tangan orang-orang Islam. Ia membawa banyak uang untuk menebus mereka. Namun uang itu ternyata tidak mencukupi. Karena itu ia dengan sukarela menyerahkan diri sebagai pengganti para budak dan tawanan itu. Ia bekerja keras sambil mewartakan Injil Kristus dan mengajar agama. Kegiatannya ini menimbulkan amarah besar di kalangan para majikan dan mandor, karena ajarannya dianggap sangat merugikan mereka.
Raymundus dipenjarakan selama 8 bulan dengan siksaan yang berat. Bibirnya dilubangkan dan dikunci sehingga tidak bisa lagi mengajar orang banyak. Untunglah bahwa uang tebusan baginya segera tiba, sehingga ia dapat segera dibebaskan dan bisa kembali ke Spanyol. Disana ia mendapat kabar bahwa Paus Gregorius IX sangat terharu dan kagum akan ketabahan dan keberaniannya mewartakan injil Kristus kepada orang-orang Islam. Paus mengangkatnya menjadi Kardinal dan mengundangnya datang ke Roma. Tetapi rupanya Tuhan sudah puas dengan jasa-jasanya. Sementara ditengah perjalanan, ia jatuh sakit dan menghembuskan nafasnya di Cardona, dekat Barcelona. Raymundus meninggal dunia pada tahun 1240. Ia dihormati sebagai pelindung para ibu yang akan melahirkan.
Sumber :
http://www.imankatolik.or.id