Header

cita-cita ardas

STASI WALIKUKUN, GEREJA YANG SATU, KUDUS, KATOLIK DAN APOSTOLIK.

MISA ARWAH
oleh: P. William P. Saunders *

Ibu saya selalu mohon intensi Misa bagi sanak-saudara yang telah meninggal dunia pada hari peringatan kematian mereka. Dari manakah praktek ini berasal dan apakah perlu?
~ seorang pembaca di Annandale

Mempersembahkan Misa bagi kedamaikan kekal jiwa umat beriman yang telah meninggal dunia berkaitan dengan keyakinan kita akan api penyucian. Kita percaya bahwa jika seseorang meninggal dunia dengan iman kepada Tuhan, tetapi dengan menanggung dosa-dosa ringan dan luka akibat dosa, maka Tuhan dalam kasih dan kerahiman Ilahi-Nya akan terlebih dahulu memurnikan jiwa. Setelah pemurnian dilakukan sempurna, maka jiwa akan mendapatkan kekudusan dan kemurnian yang diperlukan agar dapat ikut ambil bagian dalam kebahagiaan abadi di surga.

Sementara tiap-tiap individu menghadirkan diri di hadapan pengadilan Tuhan dan harus mempertanggung-jawabkan hidupnya masing-masing, persekutuan Gereja yang telah dimulai di dunia ini terus berlanjut, kecuali persekutuan dengan jiwa-jiwa yang dikutuk di neraka. Konsili Vatikan II menegaskan, “Itulah iman yang layak kita hormati, pusaka para leluhur kita: iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulai di sorga, atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran.” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja no. 51). Oleh sebab itu, sama seperti sekarang kita saling mendoakan satu sama lain dan saling meringankan beban satu dengan yang lainnya, umat beriman di dunia dapat mempersembahkan doa-doa dan kurban guna menolong jiwa-jiwa mereka yang telah meninggal dunia yang sedang dalam pemurnian, dan tak ada doa dan kurban yang lebih baik yang dapat dipersembahkan selain daripada Kurban Kudus Misa.

Paus Leo XIII dalam ensikliknya, “Mirae caritatis” (1902) dengan indah menguraikan gagasan ini serta menekankan hubungan antara persekutuan para kudus dengan Misa, “Rahmat saling mengasihi di antara mereka yang hidup, yang diperteguh serta diperdalam melalui Sakramen Ekaristi, mengalir, teritimewa karena keluhuran Kurban [Misa], kepada semua yang termasuk dalam persekutuan para kudus. Sebab persekutuan para kudus adalah… saling memberikan pertolongan, kurban, doa-doa dan segala kebajikan di antara umat beriman, yaitu mereka yang telah berada di tanah air surgawi, mereka yang berada di api penyucian, dan mereka yang masih melakukan ziarahnya di dunia ini. Mereka semua ini membentuk satu tubuh, yang kepalanya adalah Kristus dan yang prinsip utamanya adalah kasih. Iman mengajarkan bahwa meskipun kurban agung hanya dapat dipersembahkan kepada Tuhan saja, namun demikian kurban dapat dirayakan dalam rangka menghormati para kudus yang sekarang berada di surga bersama Allah, yang telah memahkotai mereka, guna memperoleh perantaraan mereka bagi kita, dan juga, menurut tradisi apostolik, guna menghapus noda dosa saudara-saudara yang telah meninggal dalam Tuhan namun belum sepenuhnya dimurnikan.” Pikirkan gagasan ini: Misa Kudus melampaui ruang dan waktu, mempersatukan segenap umat beriman di surga, di bumi dan di api penyucian dalam Komuni Kudus, dan Ekaristi Kudus sendiri mempererat persatuan kita dengan Kristus, menghapus dosa-dosa ringan serta melindungi kita dari dosa berat di masa mendatang (bdk Katekismus no. 1391-1396). Oleh sebab itu, mempersembahkan Misa dan doa-doa lain ataupun kurban-kurban demi umat beriman yang telah meninggal dunia merupakan tindakan yang kudus serta terpuji.

Praktek ini bukanlah praktek baru. Katekismus Gereja Katolik menyatakan, “Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban Ekaristi untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan” (no. 1032). Sebenarnya “zaman dahulu” ini berakar bahkan dalam Perjanjian Lama. Dalam Kitab Makabe yang Kedua, kita membaca bagaimana Yudas Makabe mempersembahkan kurban penghapus dosa dan doa-doa bagi para prajurit yang meninggal dengan mengenakan jimat-jimat, yang dilarang oleh hukum Taurat; “Mereka pun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya.” (12:42) dan “Dari sebab itu maka [oleh Yudas Makabe] disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka” (12:45).  

Dalam sejarah awal Gereja, kita juga mendapati bukti akan adanya doa-doa bagi mereka yang telah meninggal dunia. Prasasti yang diketemukan pada makam-makam dalam katakomba-katakomba Romawi dari abad kedua membuktikan praktek ini. Sebagai contoh, batu nisan pada makam Abercius (wafat thn 180), Uskup Hieropolis di Phrygia bertuliskan permohonan doa bagi kedamaian kekal jiwanya. Tertulianus pada tahun 211 menegaskan adanya praktek peringatan kematian dengan doa-doa. Lagi, Kanon Hippolytus (± thn 235) secara jelas menyebutkan persembahan doa-doa dalam perayaan Misa bagi mereka yang telah meninggal dunia.

Kesaksian para Bapa Gereja dengan indah mendukung keyakinan ini: St Sirilus dari Yerusalem (wafat thn 386), dalam salah satu dari sekian banyak tulisan pengajarannya, menjelaskan bagaimana pada saat Misa, baik mereka yang hidup maupun yang telah meninggal dunia dikenang, dan bagaimana Kurban Ekaristi Yesus Kristus mendatangkan rahmat bagi orang-orang berdosa, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal. St. Ambrosius (wafat thn 397) menyampaikan khotbahnya, “Kita mengasihi mereka semasa mereka hidup; janganlah kita mengabaikan mereka setelah mereka meninggal, hingga kita menghantar mereka melalui doa-doa kita ke dalam rumah Bapa.” St Yohanes Krisostomus (wafat thn 407) mengatakan, “Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka.”

Orang mungkin bertanya, “Bagaimana jika jiwa orang yang kita doakan telah dimurnikan sepenuhnya dan telah pergi ke surga?” Kita yang di dunia tidak mengetahui baik pengadilan Tuhan ataupun kerangka waktu ilahi; jadi selalu baik adanya mengenangkan saudara-saudara yang telah meninggal dunia serta mempersembahkan mereka kepada Tuhan melalui doa dan kurban. Namun demikian, jika sungguh jiwa yang kita doakan itu telah dimurnikan dan sekarang beristirahat di hadirat Tuhan di surga, maka doa-doa dan kurban yang kita persembahkan, melalui kasih dan kerahiman Tuhan, akan berguna bagi jiwa-jiwa lain di api penyucian.

Sebab itu, kita sekarang tahu bahwa bukan saja praktek ini telah dilakukan sejak masa Gereja Perdana, tetapi kita juga memahami dengan jelas pentingnya berdoa bagi jiwa-jiwa mereka yang telah meninggal dunia. Jika seseorang meninggal, bahkan jika orang tersebut bukan seorang Katolik, mohon intensi Misa bagi kedamaian kekal jiwanya dan mempersembahkan doa-doa kita jauh lebih bermanfaat serta membantu daripada segala macam kartu simpati atau karangan bunga dukacita. Yang terpenting ialah, hendaknya kita senantiasa mengenangkan mereka yang kita kasihi yang telah meninggal dunia dalam perayaan Misa Kudus dan melalui doa-doa dan kurban kita sendiri guna membantu mereka agar segera mendapatkan kedamaian kekal.

Karena kita mendekati hari Peringatan Arwah Semua Orang Beriman (2 November), sekarang merupakan waktu yang tepat untuk mengenangkan mereka yang kita kasihi yang telah meninggal dunia, baik melalui intensi Misa bagi kedamaian kekal jiwa mereka atau, jika diselenggarakan di paroki, mengenangkan mereka secara khusus dalam Novena Arwah.

“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”