Intensi Misa
oleh: P. William P. Saunders *
Apakah artinya suatu Misa
“dipersembahkan” bagi seseorang?
~ seorang pembaca di Leesburg
Umat dapat meminta imam untuk mempersembahkan Misa untuk beberapa maksud:
misalnya, sebagai ucapan syukur, untuk intensi bagi orang lain (misalnya ulang
tahun), atau, yang paling umum, untuk kedamaian kekal jiwa seseorang yang telah
meninggal dunia. Patutlah kita senantiasa ingat akan rahmat tak terhingga yang
mengalir dari Kurban Kudus Misa yang sungguh berdaya guna bagi jiwa. Paus Leo
XIII dalam ensikliknya “Mirae caritatis” (Kasih yang Mengagumkan, 1902) dengan
sangat indah menguraikan pokok pikiran ini serta menekankan hubungan antara
persekutuan para kudus dengan Misa, “Rahmat saling mengasihi di antara mereka yang
hidup, yang diperteguh serta diperdalam melalui Sakramen Ekaristi, mengalir,
teritimewa karena keluhuran Kurban [Misa], kepada semua yang termasuk dalam
persekutuan para kudus. Sebab persekutuan para kudus adalah… saling memberikan
pertolongan, kurban, doa-doa dan segala kebajikan di antara umat beriman, yaitu
mereka yang telah berada di tanah air surgawi, mereka yang berada di api
penyucian, dan mereka yang masih melakukan ziarahnya di dunia ini. Mereka semua
ini membentuk satu tubuh, yang kepalanya adalah Kristus dan yang prinsip
utamanya adalah kasih. Iman mengajarkan bahwa meskipun kurban agung hanya dapat
dipersembahkan kepada Tuhan saja, namun demikian kurban dapat dirayakan dalam
rangka menghormati para kudus yang sekarang berada di surga bersama Allah, yang
telah memahkotai mereka, guna memperoleh perantaraan mereka bagi kita, dan
juga, menurut tradisi apostolik, guna menghapus noda dosa saudara-saudara yang
telah meninggal dalam Tuhan namun belum sepenuhnya dimurnikan.”
Dalam ensiklik “Ecclesia de Eucharistia,” Bapa Suci Yohanes Paulus II
yang terkasih mengajarkan, “Dalam perayaan Kurban Ekaristi, Gereja berdoa agar
Tuhan, Bapa yang penuh belas kasihan, menganugerahkan kepada anak-anak-Nya
kepenuhan Roh Kudus, hingga mereka menjadi satu tubuh dan satu roh dalam
Kristus. Tatkala memanjatkan doa ini kepada Bapa dari terang, tempat
bersumbernya segala karunia yang baik dan pemberian yang sempurna, Gereja yakin
bahwa permohonannya akan didengarkan, sebab dia berdoa dalam kesatuan dengan
Kristus, Kepala dan Mempelai-nya, yang menyambut permohonan ini dari
Mempelai-Nya, lantas mengumpulkannya menjadi kurban penebusan-Nya” (No.43).
Patut diingat bahwa tradisi mempersembahkan Misa bagi orang-orang lain,
teristimewa bagi mereka yang telah meninggal dunia, berasal sejak dari masa
awal Gereja. Prasasti yang diketemukan dalam makam-makam di katakomba-katakomba
Roma dari abad kedua membuktikan adanya praktek ini. Sebagai contoh, batu nisan
pada makam Abercius (wafat thn 180), Uskup Hieropolis di Phrygia bertuliskan
permohonan doa bagi kedamaian kekal jiwanya. Tertulianus (± 200) menegaskan
adanya praktek peringatan kematian pasangan dengan doa-doa dan kurban, yaitu
Misa Kudus, “Sungguh, ia [isteri] berdoa bagi jiwanya [suami], dan mohon
kelegaan baginya, serta mohon diperbolehkan bersamanya pada hari kebangkitan
yang pertama; dan ia mempersembahkan kurbannya pada hari peringatan dia [suami]
tertidur untuk selamanya” (Tentang Monogami, X). Di samping itu, Kanon
Hippolytus (± thn 235) secara jelas menyebutkan persembahan doa-doa dalam
perayaan Misa bagi mereka yang telah meninggal dunia. St Sirilus dari
Yerusalem (wafat thn 386), dalam salah satu dari sekian banyak tulisan
pengajarannya, menjelaskan bagaimana pada saat Misa, baik mereka yang hidup
maupun yang telah meninggal dunia dikenang, dan bagaimana Kurban Ekaristi Yesus
Kristus mendatangkan rahmat bagi orang-orang berdosa, baik yang hidup maupun
yang sudah meninggal. St. Ambrosius (wafat thn 397) menyampaikan
khotbahnya, “Kita mengasihi mereka semasa mereka hidup; janganlah kita
mengabaikan mereka setelah mereka meninggal, hingga kita menghantar mereka
melalui doa-doa kita ke dalam rumah Bapa.” St Yohanes
Krisostomus (wafat thn 407) mengatakan, “Baiklah kita membantu mereka dan
mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang
dibawakan oleh bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita
membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu
orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka.” St
Agustinus (wafat thn 430) dalam “Pengakuan-Pengakuan” mencatat amanat
wasiat ibunya, St Monika, “Satu hal saja kuminta darimu, yaitu agar engkau
mengenangkanku di altar Tuhan kita di manapun engkau berada.” Paus St
Gregorius (wafat thn 604) mengatakan, “Janganlah kita ragu untuk menolong
mereka yang telah meninggal dunia dan mendaraskan doa-doa kita bagi mereka.”
Berdasarkan pemahaman di atas, kita dapat menambahkan beberapa point.
Ketika seorang imam mempersembahkan Misa Kudus, imam memiliki tiga intensi:
Pertama, mempersembahkan Misa dengan penuh hormat dan sah sesuai dengan
norma-norma Gereja. Kedua, mempersembahkan Misa dalam persatuan dengan seluruh
Gereja dan demi kebajikan seluruh Gereja. Ketiga, mempersembahkan Misa demi
suatu intensi khusus, misalnya bagi kedamaian kekal jiwa seseorang yang telah
meninggal dunia.
Oleh sebab itu, daya kuasa Misa mendatangkan rahmat atau buah-buah yang
pasti. Buah-buah umum Misa membawa dampak atas seluruh Gereja - baik umat
beiman yang masih hidup maupun bagi jiwa-jiwa menderita di api penyucian. Sebab
itu, dalam Kanon Misa (Doa Syukur Agung), didaraskan doa secara khusus baik
bagi mereka yang masih hidup maupun bagi mereka yang telah meninggal dunia.
Buah-buah istimewa pelayanan Misa membawa dampak atas intensi khusus
Misa, misalnya “bagi siapa Misa dipersembahkan.”
Buah-buah khusus pribadi Misa mendatangkan rahmat atas imam yang
merayakan Misa, yang bertindak selaku pribadi Kristus (in persona Christi)
dalam mempersembahkan Misa dan atas mereka semua yang hadir dan ikut ambil
bagian dalam Misa.
Buah-buah ini terbatas baik secara ekstensif maupun intensif, sebab
masing-masing kita adalah terbatas. Karenanya, semakin sering Misa
dipersembahkan, semakin banyak rahmat yang dianugerahkan atas jiwa. Sebagai
contoh, jika segala sesuatunya sama, maka 10 Misa yang dipersembahkan bagi
kedamaian kekal suatu jiwa berbeda dengan 10 kali rahmat dari satu Misa.
Intensi Misa juga ditentukan oleh berbagai macam faktor: Gereja dapat
menetapkan suatu intensi khusus; misalnya, semua imam diminta untuk
mempersembahkan satu Misa pada hari Minggu untuk intensi segenap umat beriman
di suatu paroki, baik yang hidup maupun yang telah meninggal dunia. Imam juga
dapat memiliki suatu intensi khusus pribadi dalam mempersembahkan Misa, misalnya
untuk kedamaian kekal bagi jiwa orangtuanya. Dan yang terakhir, seorang umat
dapat meminta imam untuk mempersembahkan Misa untuk suatu intensi khusus;
biasanya, stipendium [= sumbangan uang kepada Gereja / imam dari umat yang
mohon intensi Misa] diberikan kepada imam untuk mempersembahkan Misa, yang
dengan demikian menimbulkan suatu kewajiban bagi imam yang harus dipenuhi.
Akhirnya kita mengetahui bahwa bukan saja asal mula praktek ini telah
dimulai sejak masa awal Gereja, melainkan kita juga mengetahui dengan jelas
manfaatnya. Apabila seseorang dari antara sanak saudara atau kenalan kita
meninggal dunia, bahkan jika orang tersebut bukan seorang Katolik,
mempersembahkan Misa bagi kedamaian kekal jiwanya dan mempersembahkan doa-doa
kita jauh lebih bermanfaat serta membantu daripada segala macam kartu simpati
atau karangan bunga dukacita. Mempersembahkan Misa pada peringatan ulang tahun
kelahiran, peringatan ulang tahun perkawinan, atau suatu kepentingan khusus,
juga sangat tepat, bermanfaat serta berharga.
“diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”