Header

cita-cita ardas

STASI WALIKUKUN, GEREJA YANG SATU, KUDUS, KATOLIK DAN APOSTOLIK.

Paus Benediktus XVI


Pasangan Katolik yang saleh, Joseph Ratzinger (seorang komisaris polisi yang berasal dari keluarga petani dengan keadaan ekonomi lemah dan anti Nazi) dan Maria Riger (berasal dari keluarga tukang dan sebelum menikah bekerja sebagai tukang masak), dikaruniai tiga orang anak. Yang sulung, Georg Ratzinger - kelak menjadi imam sekaligus musikus; anak kedua, seorang puteri yang diberi nama Maria Ratzinger, dan yang bungsu Joseph Alois Ratzinger, yang kini menjadi Bapa Suci Paus Benediktus XVI.


Joseph Alois Ratzinger dilahirkan pada hari Jumat Agung, 16 April 1927 di Marktl am Inn, Bavaria, Jerman dan dibaptis keesokan harinya pada Malam Paskah. Dalam otobiografinya, “Milestones”, bapa suci menulis, “Sebagai orang pertama yang dibaptis dengan air baru, sungguh merupakan suatu penyelenggaraan ilahi yang luar biasa. Aku senantiasa dipenuhi rasa syukur bahwa hidupku ditenggelamkan begitu rupa dalam Misteri Paskah.... Semakin aku merenungkannya, semakin tepat rasanya bahwa aku dibaptis pada Malam Paskah, bukan pada Hari Raya Paskah. Kita masih menanti Paskah, belum berada dalam terang Paskah yang penuh, melainkan berjalan menuju terang itu, dengan penuh pengharapan.”

Sejak masa kanak-kanaknya, Joseph kecil tidak bercita-cita lain selain daripada menjadi seorang imam. Bahkan saat berusia enam tahun, ia telah mengumumkan bahwa ia akan menjadi seorang uskup!

Mengenai ayahnya, bapa suci mengisahkan, “Ayahku melihat tanpa keraguan sedikit pun bahwa kemenangan Hitler akan menjadi kemenangan anti Kristus, bukan kemenangan Jerman, awal dari masa-masa Kitab Wahyu bagi segenap umat beriman - dan bukan hanya mereka saja.” Karena kritiknya yang terang-terangan terhadap Nazi, keluarga Ratzinger harus pindah ke Auschau am Inn, di kaki pegunungan Alpen pada bulan Desember 1932. Pada tahun 1937, ayahnya mencapai usia pensiun 60 tahun dan mereka pindah ke Hufschlag, di pinggiran kota Traunstein, di mana Joseph melewatkan masa remajanya. Di sinilah ia mulai belajar bahasa Latin dan Yunani.

MASA REMAJA

Pada tahun 1939, Joseph yang masih belia masuk seminari di Traunstein. Ketika usianya beranjak 14 tahun, Joseph bergabung dengan Pemuda Hitler, sesuai ketentuan wajib sejak tahun 1938. Joseph sama sekali tidak tertarik, dan bersama teman-teman seminari lainnya berusaha menghindarkan diri dari pertemuan-pertemuan Nazi. Dua tahun kemudian, tahun 1943, saat ia berumur 16 tahun, Joseph, bersama seluruh teman sekelasnya di seminari, ditugaskan wajib militer dalam korps anti pesawat terbang. Mereka masih diperkenankan mengikuti pelajaran di Maximilians - Gymnasium di Munich tiga hari dalam seminggu.

Pada bulan September 1944, Joseph yang saat itu berusia 17 tahun, ditugaskan wajib militer di suatu batalyon yang dikomandani oleh seorang Austria “Nazi Tua” yang fanatik. Bapa suci menulis, “Suatu malam kami diseret dari tempat tidur kami dan diperintahkan berbaris, dalam keadaan setengah tidur, dengan mengenakan baju training. Seorang perwira SS menyuruh kami maju satu persatu. Dengan memanfaatkan keadaan kami yang masih mengantuk dan dengan menempatkan kami di hadapan seluruh pasukan, ia berusaha mendesak kami bekerja “sukarela” untuk Waffen-SS. Begitulah, sejumlah besar teman yang berkehendak baik dipaksa bekerja untuk kelompok kriminal ini. Bersama beberapa teman, aku sungguh senang dapat mengatakan bahwa kami ingin menjadi imam Katolik. Lalu kami dibebaskan dengan caci-maki penghinaan dan siksa. Namun demikian, betapa nikmat rasanya  segala penghinaan itu, yang membebaskan kami dari ancaman “kerja sukarela” dusta ini dengan segala konsekuensinya.

Bahaya maut mengancam Joseph pada hari-hari menjelang kekalahan Jerman pada awal bulan Mei 1945. Mengambil kesempatan dalam kekacaubalauan perang, ia meninggalkan dinas militer dan pulang ke rumah, mempertaruhkan nyawa meluputkan diri dari para tentara yang ditempatkan di tiap-tiap persimpangan jalan dengan perintah untuk menembak di tempat semua prajurit yang “mangkir”. Ia berhasil meloloskan diri dan tiba di rumah hanya untuk masuk dalam bahaya yang bahkan lebih besar. Dua perwira SS masuk dan tinggal di rumah keluarga Ratzinger. Beberapa teman mereka telah menggantung mati beberapa prajurit muda yang ketahuan mangkir. Hanya karena perlindungan Allah yang Mahabaik, kedua perwira SS itu sekonyong-konyong menghilang, tanpa menyentuh baik Joseph maupun ayahnya.

Sementara itu, musin panas 1945, pasukan sekutu akhirnya tiba di desa tempat tinggalnya dan menjadikan rumah keluarga Ratzinger sebagai pangkalan mereka. Joseph dikenali sebagai tentara Jerman dan karenanya ditangkap sebagai tawanan perang dan dikurung di kamp POW. Enam minggu kemudian, tanggal 19 Juni 1945, ia dibebaskan dan pulang ke rumah. “Yerusalem surgawi tak akan lebih indah bagiku. Inilah Pesta Hati Kudus Yesus. Aku boleh mendengarkan madah dan doa-doa dilambungkan dari gereja…. Tak pernah sepanjang hidupku aku menikmati santapan yang lebih sedap dari masakan sederhana yang disiapkan ibu bagi kami dari hasil kebun kami sendiri…. Beberapa minggu kemudian, kakak sulungku muncul, kulitnya kecoklatan terbakar matahari Italia; ia duduk di piano dan memainkan “Allah yang Kudus, Kami Memuliakan Nama-Mu”. Bulan-bulan berlalu, di mana sekali lagi kami boleh mengecap kebebasan, sungguh merupakan kenangan terindah sepanjang hidupku.”

IMAMAT

Bulan Januari 1946, bersama Georg dan 120 teman seminari, Joseph masuk kembali ke seminari di Keuskupan Munich. Kejamnya hidup dalam perang yang harus mereka alami membuat mereka semua haus menuntut ilmu. “Kami bertekad mengejar ketinggalan kami dari tahun-tahun yang hilang, untuk melayani Kristus dalam GerejaNya, demi masa depan yang baru, yang lebih baik, demi Jerman yang lebih baik, demi dunia yang lebih baik,” demikian tulis bapa suci dalam buku kenangannya. “Tak seorang pun dari antara kami yang ragu bahwa Gereja merupakan pilihan yang tepat bagi harapan-harapan kami. Kendati kelemahan-kelemahan manusiawi, Gereja tetap bertahan dalam menghadapi serangan gencar Nazi. Di tengah neraka yang melahap segala kekuatan lain dalam masyarakat, Gereja tetap kokoh dengan kekuatan yang bukan dari dunia ini. Janji Kristus telah digenapi: alam maut tak akan menguasainya. Kami tahu seperti apa alam maut itu. Kami telah melihatnya dengan mata kami sendiri. Tetapi, kami melihat juga rumah yang tetap kokoh berdiri, sebab dibangun di atas batu karang."

Pada tanggal 29 Juni 1951, Georg dan Joseph Ratzinger ditahbiskan sebagai imam oleh Kardinal Faulhaber di Katedral Freising, pada Pesta Santo Petrus dan Paulus. Pastor Ratzinger mulai mengajar, di samping itu ia juga belajar filsafat dan teologi di Universitas Munich dan di Sekolah Tinggi Freising. Pada tahun 1953, ia memperoleh gelar doktor dalam bidang teologi dengan tesisnya yang berjudul “Umat dan Rumah Tuhan dalam Doktrin Gereja St Agustinus”. Empat tahun sesudahnya, ia menjadi dosen, kemudian mengajar dogma dan teologi fundamental di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Freising, lalu di Bonn dari tahun 1959 hingga 1969, Münster dari tahun 1963 hingga 1966, Tubinga dari tahun 1966 hingga 1969. Sejak tahun 1969, Pastor Ratzinger menjadi professor teologi dogmatik dan sejarah dogma di Universitas Regensburg, sekaligus menjabat Wakil Rektor universitas yang sama.

Pada tahun 1962, Pastor Ratzinger telah terkenal ketika, dalam usia 35 tahun, ia menjadi penasehat ahli teologi bagi Uskup Agung Cologne, Kardinal Joseph Frings, dalam Konsili Vatikan II.

Di antara begitu banyak karyanya, yang paling menonjol adalah, “Pengantar Agama Kristen,” berisi kumpulan pelajaran kuliah tentang pengakuan iman apostolik, diterbitkan tahun 1968; “Dogma dan Wahyu,” sebuah bunga rampai, kumpulan khotbah dan renungan yang dipersembahkan bagi pelayanan pastoral, diterbitkan tahun 1973.

Bulan Maret 1997, Paus Paulus VI menetapkannya sebagai Uskup Agung Munich dan Freising. Tanggal 28 Mei 1977 ia ditahbiskan. Moto episkopalnya adalah “Cooperatores Veritatis”, pekerja-pekerja kebenaran, yang diambil dari 3Yohanes 8. Moto ini melambangkan jalinan kebenaran dan kasih, iman pribadi dan kekatolikan Gereja, pun inter-relasi antara para gembala dan umat beriman, yang, dengan caranya masing-masing, saling ikut ambil bagian dalam kewajiban dan rahmat Injil.

Dalam konsistori tanggal 27 Juni 1977, Paus Paulus VI mengangkatnya sebagai kardinal.

Pada tanggal 25 November 1981, Paus Yohanes Paulus II menunjuk Kardinal Ratzinger sebagai Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman; Ketua Komisi Kitab Suci dan Komisi Teologi Internasional Kepausan.

Pada tanggal 6 November 1998, Kardinal Ratzinger dipilih sebagai Subdekan Dewan Kardinal dan pada tanggal 30 November 2002 Paus Yohanes Paulus II mengesahkan pemilihannya oleh para kardinal sebagai Dekan Dewan Kardinal. Sebagai Presiden Komisi bagi Persiapan Katekismus Gereja Katolik yang baru, ia bekerja selama enam tahun (1986 - 1996) sebelum akhirnya mempersembahkan Katekismus baru kepada Bapa Suci.

Kardinal Ratzinger termasuk salah seorang yang paling berpengaruh dan dihormati di Vatikan. Ia merupakan tangan kanan serta rekan terdekat Paus Yohanes Paulus II. Ia pula yang memimpin pemakaman Sri Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 8 April 2005, dan ia juga yang memimpin konklaf yang dimulai pada tanggal 18 April 2005 yang lalu.

Berulangkali Kardinal Ratzinger mengatakan bahwa ia ingin mengundurkan diri ke suatu desa di Bavaria dan mengabdikan sisa hidupnya untuk menulis. Tetapi, akhirnya juga, ia mengatakan bahwa ia “siap menerima segala beban tanggung jawab yang diletakkan Tuhan ke atas pundaknya.”

Pada tanggal 19 April 2005 pukul 5.50 sore, Kardinal Ratzinger terpilih sebagai penerus Paus Yohanes Paulus II sebagai paus Gereja Katolik Roma yang ke-265 dengan nama Paus Benediktus XVI.

Bapa Suci Paus Benediktus XVI menguasai sepuluh bahasa. Ia seorang pianis ulung, teristimewa dalam karya-karya Mozart dan Beethoven.

Paus Benediktus XVI merupakan paus German yang kedelapan.

“disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”