Kitab-Kitab yang Hilang dari Kitab Suci
oleh: P. William P. Saunders *
Kisah Tobia dalam Kitab Tobit
Minggu lalu, seorang teman Kristen Baptis datang berkunjung dan bersama
saya pergi ke Misa. Bacaan pertama diambil dari Kitab Kedua Makabe. Belum pernah
ia mendengar kitab itu sebelumnya. Saya mengatakan, “Kitab itu ada dalam Kitab
Suci.” Jawabnya, “Tetapi, tidak ada dalam Alkitab-ku.” Apakah memang ada
perbedaan?
~ seorang pembaca di Gordonsville
Ya, memang ada perbedaan antara Kitab Suci Katolik dan Kitab Suci
Protestan. Sebelum membahas masalah ini lebih lanjut, orang pertama-tama harus
ingat bahwa Allah yang Mahakuasa tidak pernah menyerahkan suatu Kitab Suci yang
lengkap kepada siapa pun dan mengatakan, “Ini, ambillah.” Melainkan, selama berabad-abad
sejarah keselamatan, Roh Kudus mengilhami penulis-penulis Kitab Suci agar
menuliskan wahyu-wahyu Tuhan kepada manusia. Dengan berlalunya waktu, Gereja
menyusun kitab-kitab ini menjadi suatu Kanon - suatu daftar resmi Kitab Suci -
dan memaklumkannya sebagai “Sabda Allah”.
Kitab-kitab Perjanjian Lama ditulis kemungkinan antara tahun 1000-100 SM,
dan biasanya diklasifikasikan menjadi empat kelompok: Kitab Pentateukh (atau Taurat, yaitu kelima kitab
pertama dari Perjanjian Lama kita); Kitab Sejarah; Kitab Para Nabi ; Kitab Puitis dan Hikmat. Kitab Makabe I
dan II termasuk dalam kelompok Kitab Sejarah, ditulis antara tahun 150-100 SM.
Bahkan dalam Perjanjian Baru sendiri, kita temukan referensi-referensi bacaan
dari Kitab Pentateukh dan Kitab Para Nabi dalam kebaktian di rumah-rumah ibadat
(mis Luk 4:16-19; Kis 13:15). Setelah jatuhnya Yerusalem pada tahun 70 M, para
rabi Yahudi mengadakan Konsili Jamnia (90-100) di mana mereka menetapkan
kitab-kitab mana saja yang mereka anggap sebagai Kitab Suci mereka. Pada masa
itu, masih terdapat kontroversi atas apa yang disebut sebagai ketujuh"Kitab Deoterokanonika" - yaitu Tobit, Yudit,
Kebijaksanaan Salomo, Putera Sirakh, Barukh, Makabe I & II - meskipun
kitab-kitab tersebut dimasukkan, secara keseluruhan atau setidaknya sebagian,
dalam Septuaginta, yaitu terjemahan resmi Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani
(100 SM). Sebagian dari alasan kontroversi itu adalah karena kitab-kitab
tersebut merupakan tulisan-tulisan terakhir Perjanjian Lama dan ditulis dalam
bahasa Yunani, bukan bahasa Ibrani; sementara kitab-kitab Perjanjian Lama
lainnya - “Kitab-kitab Protokanonik” - lebih tua umurnya dan aslinya ditulis
dalam bahasa Ibrani. Para ahli modern mencermati bahwa Jamnia tidak
mengeluarkan satu kitab pun secara definitif; kanon Yahudi yang baku baru
muncul sekurang-kurangnya 100 tahun kemudian, dan bahkan setelah itu, kitab-kitab
yang lain - termasuk kitab-kitab Deuterokanonika - dibaca dan
dihormati. Walau demikian, banyak ahli Kitab Suci tak memiliki keraguan sedikit
pun bahwa Gereja Apostolik menerima kitab-kitabDeuterokanonika sebagai
bagian dari kanon Kitab Sucinya. Misalnya, Origen (wafat 245) menegaskan
penggunaan kitab-kitab tersebut di kalangan umat beriman Kristiani meskipun
sebagian dari para pemimpin Yahudi tidak secara resmi menerimanya.
Sementara itu, kitab-kitab Perjanjian Baru muncul antara masa wafat
Kristus dan akhir abad pertama. (Penelitian terbaru atas Gulungan Kitab Laut
Mati (Dead Sea Scrolls) oleh beberapa ahli memperkirakan tulisan-tulisan paling
awal dibuat sekitar masa wafat Kristus, sementara sebagian besar ahli lainnya
memperkirakan tulisan berasal dari antara tahun 50 dan 100 M). Setelah
disahkannya kekristenan pada tahun 313, Gereja berusaha menetapkan
tulisan-tulisan mana saja dari Perjanjian Baru yangsungguh dianggap sebagai
diilhami Roh Kudus dan merupakan ajaran otentik Tuhan kita.
St Atanasius dalam tulisannya Paschal Epistle (367) mengajukan
daftar lengkap ke-27 Kitab Perjanjian Baru dengan mengatakan, “Inilah
sumber-sumber keselamatan, sebab mereka yang haus dapat mereguk dalam-dalam
sabda yang ditemukan di sini. Di sini sajalah ajaran-ajaran kesalehan dicatat.
Janganlah seorang pun menambahkan atau mengurangkan sesuatu pun darinya.”
Daftar ke-27 kitab bersama ke-46 kitab Perjanjian Lama (termasuk
kitab-kitab Deuterokanonika) disahkan sebagai Kanon resmi Kitab Suci
bagi Gereja Katolik oleh Sinode Hippo (393), Karthago I & II (397 dan 419).
Surat amanat Paus St Inosensius I pada tahun 405 juga secara resmi mencantumkan
daftar kitab-kitab ini.
Meski muncul beberapa diskusi mengenai dimasukkannya kitab-kitab lain ke
dalam kanon Kitab Suci Gereja setelah masa ini, Konsili Florence (1442) secara
definitif menetapkan daftar resmi 46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab
Perjanjian Baru.
Dengan latar belakang ini, kita sekarang dapat melanjutkan dengan mengapa
Kitab Suci Protestan memiliki lebih sedikit kitab daripada Kitab Suci Katolik.
Pada tahun 1534, Martin Luther menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman.
Ia mengelompokkan ketujuh kitab Deuterokanonika (Tobit, Yudit,
Kebijaksanaan Salomo, Putera Sirakh, Barukh, Makabe I & II) dari Perjanjian
Lama sebagai “Apocrypha” dengan memaklumkan, “Inilah kitab-kitab yang tidak
sejajar dengan Kitab Suci, namun demikian berguna dan baik dibaca.” Luther juga
mengkategorikan kitab-kitab Perjanjian Baru sebagai: kitab-kitab tentang karya
keselamatan Allah (Yohanes, Roma, Galatia, Efesus, Petrus I dan Yohanes I);
kitab-kitab kanonik lainnya (Matius, Markus, Lukas, Kisah Para
Rasul, epistula-epistula Paulus yang lainnya, Petrus II dan Yohanes II);
dan kitab-kitab non-kanonik (Ibrani, Yakobus, Yudas, Wahyu dan kitab-kitab
Perjanjian Lama). Banyak sejarahwan Gereja berspekulasi bahwa Luther sebenarnya
siap untuk mengeluarkan apa yang ia sebut sebagai “kitab-kitab non-kanonik”
dari Perjanjian Baru, tetapi tidak melakukannya karena pertimbangan politis.
Mengapa Luther mengambil tindakan yang demikian, sulit dikatakan. Sebagian ahli
percaya Luther ingin kembali ke “iman primitif” dan sebab itu menerima hanya
kitab-kitab Perjanjian Lama yang aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani; sebagian
ahli lainnya berspekulasi bahwa ia hendak menyingkirkan semua kitab yang tidak
sesuai dengan teologinya sendiri. Namun demikian, tindakannya ini mendatangkan
konsekuensi permanen dengan menghilangkan ketujuh
kitab DeuterokanonikaPerjanjian Lama dari Kitab Suci Protestan.
39 Pasal Agama (1563) Gereja Inggris memaklumkan bahwa
kitab-kitab Deuterokanonika ini dapat dibaca sebagai “teladan hidup
dan pedoman perilaku,” walau kitab-kitab tersebut tidak boleh dipergunakan
“untuk menetapkan suatu ajaran” (Pasal VI). Sebab itu, Kitab Suci versi King James
(1611) menempatkan kitab-kitab tersebut di antara Perjanjian Baru dan
Perjanjian Lama. John Lightfoot (1643) mengkritik penataan ini sebab ia
berpendapat “sampah Apocrypha” dapat dianggap sebagai jembatan di antara kedua
perjanjian. The Westminster Confession (1647) mendekritkan bahwa kitab-kitab
tersebut, “bukan merupakan ilham ilahi, dan bukan bagian dari kanon Kitab Suci,
dan karena itu tidak memiliki otoritas dalam Gereja Tuhan; dengan cara apapun
tak dapat disetujui atau dipergunakan selain sebagai tulKitab-kitab Perjanjian Lama ditulis kemungkinan antara tahun 1000-100 SM,
dan biasanya diklasifikasikan menjadi empat kelompok: Kitab Pentateukh (atau
Taurat, yaitu kelima kitab pertama dari Perjanjian Lama kita); Kitab
Sejarah; Kitab Para Nabi;Kitab Puitis dan Hikmat. Kitab Makabe I dan II termasuk dalam kelompok Kitab
Sejarah, ditulis antara tahun 150-100 SM. Bahkan dalam Perjanjian Baru sendiri,
kita temukan referensi-referensi bacaan dari Kitab Pentateukh dan Kitab Para
Nabi dalam kebaktian di rumah-rumah ibadat (mis Luk 4:16-19; Kis 13:15).
Setelah jatuhnya Yerusalem pada tahun 70 M, para rabi Yahudi mengadakan Konsili
Jamnia (90-100) di mana mereka menetapkan kitab-kitab mana saja yang mereka
anggap sebagai Kitab Suci mereka. Pada masa itu, masih terdapat kontroversi
atas apa yang disebut sebagai ketujuh“Kitab Deuterokanonika” - yaitu Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Putera
Sirakh, Barukh, Makabe I & II - meskipun kitab-kitab tersebut dimasukkan,
secara keseluruhan atau setidaknya sebagian, dalam Septuaginta, yaitu
terjemahan resmi Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (100 SM). Sebagian dari
alasan kontroversi itu adalah karena kitab-kitab tersebut merupakan
tulisan-tulisan terakhir Perjanjian Lama dan ditulis dalam bahasa Yunani, bukan
bahasa Ibrani; sementara kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya - “Kitab-kitab
Protokanonik” - lebih tua umurnya dan aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani. Para
ahli modern mencermati bahwa Jamnia tidak mengeluarkan satu kitab pun secara
definitif; kanon Yahudi yang baku baru muncul sekurang-kurangnya 100 tahun
kemudian, dan bahkan setelah itu, kitab-kitab yang lain - termasuk
kitab-kitab Deuterokanonika - dibaca dan dihormati. Walau
demikian, banyak ahli Kitab Suci tak memiliki keraguan sedikit pun bahwa Gereja
Apostolik menerima kitab-kitabDeuterokanonika sebagai bagian dari kanon Kitab
Sucinya. Misalnya, Origen (wafat 245) menegaskan penggunaan kitab-kitab
tersebut di kalangan umat beriman Kristiani meskipun sebagian dari para
pemimpin Yahudi tidak secara resmi menerimanya.
Dalam menanggapi kaum Reformasi Protestan, Konsili Trente mengulang
kembali kanon Florence dalam Dekrit mengenai Kitab Suci dan Tradisi yang Wajib
Diterima (1546) dan mendekritkan bahwa kitab-kitab ini hendaknya diperlakukan
“dengan devosi dan penghormatan yang sejajar.” Katekismus Gereja Katolik
mengulangi daftar kitab yang sama dan lagi menegaskan Tradisi Apostolik
mengenai kanon Kitab Suci.isan-tulisan manusia.”
The British and Foreign Bible Society pada tahun 1827 memutuskan untuk
menyingkirkan kitab-kitab ini dari cetakan selanjutnya, menyebut kitab-kitab
ini sebagai “apocryphal.”
Sementara itu, kitab-kitab Perjanjian Baru muncul antara masa wafat
Kristus dan akhir abad pertama. (Penelitian terbaru atas Gulungan Kitab Laut
Mati (Dead Sea Scrolls) oleh beberapa ahli memperkirakan tulisan-tulisan paling
awal dibuat sekitar masa wafat Kristus, sementara sebagian besar ahli lainnya
memperkirakan tulisan berasal dari antara tahun 50 dan 100 M). Setelah
disahkannya kekristenan pada tahun 313, Gereja berusaha menetapkan
tulisan-tulisan mana saja dari Perjanjian Baru yangsungguh dianggap sebagai
diilhami Roh Kudus dan merupakan ajaran otentik Tuhan kita.
St Atanasius dalam tulisannya Paschal Epistle (367) mengajukan
daftar lengkap ke-27 Kitab Perjanjian Baru dengan mengatakan, “Inilah
sumber-sumber keselamatan, sebab mereka yang haus dapat mereguk dalam-dalam
sabda yang ditemukan di sini. Di sini sajalah ajaran-ajaran kesalehan dicatat.
Janganlah seorang pun menambahkan atau mengurangkan sesuatu pun darinya.”
Daftar ke-27 kitab bersama ke-46 kitab Perjanjian Lama (termasuk
kitab-kitab Deuterokanonika) disahkan sebagai Kanon resmi Kitab Suci
bagi Gereja Katolik oleh Sinode Hippo (393), Karthago I & II (397 dan 419).
Surat amanat Paus St Inosensius I pada tahun 405 juga secara resmi mencantumkan
daftar kitab-kitab ini.
Meski muncul beberapa diskusi mengenai dimasukkannya kitab-kitab lain ke
dalam kanon Kitab Suci Gereja setelah masa ini, Konsili Florence (1442) secara
definitif menetapkan daftar resmi 46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab
Perjanjian Baru.
Dengan latar belakang ini, kita sekarang dapat melanjutkan dengan mengapa
Kitab Suci Protestan memiliki lebih sedikit kitab daripada Kitab Suci Katolik.
Pada tahun 1534, Martin Luther menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman.
Ia mengelompokkan ketujuh kitab Deuterokanonika (Tobit, Yudit,
Kebijaksanaan Salomo, Putera Sirakh, Barukh, Makabe I & II) dari Perjanjian
Lama sebagai “Apocrypha” dengan memaklumkan, “Inilah kitab-kitab yang tidak
sejajar dengan Kitab Suci, namun demikian berguna dan baik dibaca.” Luther juga
mengkategorikan kitab-kitab Perjanjian Baru sebagai: kitab-kitab tentang karya
keselamatan Allah (Yohanes, Roma, Galatia, Efesus, Petrus I dan Yohanes I);
kitab-kitab kanonik lainnya (Matius, Markus, Lukas, Kisah Para
Rasul, epistula-epistula Paulus yang lainnya, Petrus II dan Yohanes II);
dan kitab-kitab non-kanonik (Ibrani, Yakobus, Yudas, Wahyu dan kitab-kitab
Perjanjian Lama). Banyak sejarahwan Gereja berspekulasi bahwa Luther sebenarnya
siap untuk mengeluarkan apa yang ia sebut sebagai “kitab-kitab non-kanonik”
dari Perjanjian Baru, tetapi tidak melakukannya karena pertimbangan politis.
Mengapa Luther mengambil tindakan yang demikian, sulit dikatakan. Sebagian ahli
percaya Luther ingin kembali ke “iman primitif” dan sebab itu menerima hanya
kitab-kitab Perjanjian Lama yang aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani; sebagian
ahli lainnya berspekulasi bahwa ia hendak menyingkirkan semua kitab yang tidak
sesuai dengan teologinya sendiri. Namun demikian, tindakannya ini mendatangkan
konsekuensi permanen dengan menghilangkan ketujuh
kitab DeuterokanonikaPerjanjian Lama dari Kitab Suci Protestan.
39 Pasal Agama (1563) Gereja Inggris memaklumkan bahwa
kitab-kitab Deuterokanonika ini dapat dibaca sebagai “teladan hidup
dan pedoman perilaku,” walau kitab-kitab tersebut tidak boleh dipergunakan
“untuk menetapkan suatu ajaran” (Pasal VI). Sebab itu, Kitab Suci versi King James
(1611) menempatkan kitab-kitab tersebut di antara Perjanjian Baru dan
Perjanjian Lama. John Lightfoot (1643) mengkritik penataan ini sebab ia
berpendapat “sampah Apocrypha” dapat dianggap sebagai jembatan di antara kedua
perjanjian. The Westminster Confession (1647) mendekritkan bahwa kitab-kitab
tersebut, “bukan merupakan ilham ilahi, dan bukan bagian dari kanon Kitab Suci,
dan karena itu tidak memiliki otoritas dalam Gereja Tuhan; dengan cara apapun
tak dapat disetujui atau dipergunakan selain sebagai tulisan-tulisan manusia.”
The British and Foreign Bible Society pada tahun 1827 memutuskan untuk
menyingkirkan kitab-kitab ini dari cetakan selanjutnya, menyebut kitab-kitab
ini sebagai “apocryphal.”
Dalam menanggapi kaum Reformasi Protestan, Konsili Trente mengulang
kembali kanon Florence dalam Dekrit mengenai Kitab Suci dan Tradisi yang Wajib
Diterima (1546) dan mendekritkan bahwa kitab-kitab ini hendaknya diperlakukan
“dengan devosi dan penghormatan yang sejajar.” Katekismus Gereja Katolik
mengulangi daftar kitab yang sama dan lagi menegaskan Tradisi Apostolik
mengenai kanon Kitab Suci.
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The
Arlington Catholic Herald.”