SEJARAH GEREJA KATOLIK
Sejarah Gereja Katolik meliputi
rentang waktu selama hampir dua ribu tahun. Sejarah Gereja Katolik merupakan
bagian integral Sejarah kekristenan secara keseluruhan. Istilah Gereja Katolik
yang digunakan secara khusus untuk menyebut Gereja yang didirikan di Yerusalem
oleh Yesus dari Nazaret (sekitar tahun 33 Masehi) dan dipimpin oleh suatu
suksesi apostolik yang berkesinambungan melalui Santo Petrus Rasul Kristus,
dikepalai oleh Uskup Roma sebagai pengganti St. Petrus, yang kini umum dikenal
dengan sebutan Paus.
"Gereja Katolik"
diketahui pertama kali digunakan dalam surat dari Ignatius dari Antiokhia pada
tahun 107, yang menulis bahwa: "Di mana ada uskup, hendaknya umat hadir di
situ, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, Gereja Katolik hadir di
situ."
Di pusat doktrin-doktrin Gereja
Katolik ada Suksesi Apostolik, yakni keyakinan bahwa para uskup adalah para
penerus spiritual dari keduabelas rasul mula-mula, melalui rantai konsekrasi
yang tak terputus secara historis. Perjanjian Baru berisi peringatan-peringatan terhadap
ajaran-ajaran yang sekedar bertopengkan Kekristenan, dan menunjukkan bahwa para
pimpinan Gereja diberi kehormatan untuk memutuskan manakah yang merupakan
ajaran yang benar. Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja Katolik adalah
keberlanjutan dari orang-orang tetap setia pada kepemimpinan apostolik (rasuli)
dan episkopal (Keuskupan) serta menolak ajaran-ajaran palsu.
GEREJA
KATOLIK YANG SATU
"Allah telah berkenan
menghimpun orang-orang yang beriman akan Kristus menjadi Umat Allah (lih 1Ptr
2:5-10)", dan membuat mereka menjadi satu Tubuh (lih. 1Kor 12:12) dan (AA
18). "Pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja ialah kesatuan
Allah yang tunggal dalam tiga pribadi, Bapa, Putra dan Roh Kudus" (UR 2).
landasan Hukum Gereja yang Satu
dapat kita lihat dalam Katekismus Gereja Katolik dibawah ini :
"Itulah satu-satunya Gereja Kristus, yang dalam syahadat
iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik"
(LG 8). Keempat sifat ini, yang tidak boleh dipisahkan satu dari yang lain,
melukiskan ciri-ciri hakikat Gereja dan perutusannya. Gereja tidak memilikinya
dari dirinya sendiri. Melalui Roh Kudus, Kristus menjadikan Gereja-Nya itu
satu, kudus, katolik, dan apostolik. Ia memanggilnya supaya melaksanakan setiap
sifat itu. (KGK 811)
Hanya
iman dapat mengakui bahwa Gereja menerima sifat-sifat ini dari asal ilahinya.
Namun akibat-akibatnya dalam sejarah merupakan tanda yang juga jelas
mengesankan akal budi manusia. Seperti yang dikatakan Konsili Vatikan I, Gereja
"oleh penyebarluasannya yang mengagumkan, oleh kekudusannya yang luar
biasa, dan oleh kesuburannya yang tidak habis-habisnya dalam segala sesuatu
yang baik, oleh kesatuan katoliknya dan oleh kestabilannya yang tak
terkalahkan, adalah alasan yang kuat dan berkelanjutan sehingga pantas
dipercaya dan satu kesaksian yang tidak dapat dibantah mengenai perutusan
ilahinya" (DS 3013). (KGK
812)
Gereja
itu satu menurut asalnya. "Pola dan prinsip terluhur misteri itu ialah
kesatuan Allah tunggal dalam tiga Pribadi, Bapa, Putera, dan Roh Kudus"
(UR 2 §5). Gereja itu satu
menurut Pendiri-Nya. "Sebab Putera sendiri yang menjelma ... telah
mendamaikan semua orang dengan Allah, dan mengembalikan kesatuan semua orang
dalam satu bangsa dan sate tubuh" (GS 78,3). Gereja itu satu menurut
jiwanya. "Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta
membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman yang
mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam Kristus,
sehingga menjadi prinsip kesatuan Gereja" (UR 2 §2).
Dengan demikian, kesatuan termasuk dalam hakikat Gereja:"Sungguh keajaiban
yang penuh rahasia! Satu adalah Bapa segala sesuatu, juga satu adalah Logos
segala sesuatu, dan Roh Kudus adalah satu dan saina di mana-mana, dan juga ada
hanya satu Bunda Perawan; aku mencintainya, dan menamakan dia Gereja" (St.
Klemens dari Aleksandria, Pæd. 1,6,42:PG 8,300). (KGK 813)
Namun
sejak awal, Gereja yang satu ini memiliki kemajemukan yang luar biasa. Di satu
pihak kemajemukan itu disebabkan oleh perbedaan anugerah-anugerah Allah, di
lain pihak oleh keanekaan orang yang menerimanya. Dalam kesatuan Umat Allah
berhimpunlah perbedaan bangsa dan budaya. Di antara anggota-anggota Gereja ada
keanekaragaman anugerah, tugas, syarat-syarat hidup dan cara hidup; "maka
dalam persekutuan Gereja selayaknya pula terdapat Gereja-gereja khusus, yang
memiliki tradisi mereka sendiri" (LG 13). Kekayaan yang luar biasa akan
perbedaan tidak menghalang-halangi kesatuan Gereja, tetapi dosa dan akibat
akibatnya membebani dan mengancam anugerah kesatuan ini secara terus-menerus.
Karena itu Santo Paulus harus menyampaikan nasihatnya, "supaya memelihara
kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera" (Ef 4:3). (KGK 814)
Manakah
ikatan-ikatan kesatuan? Terutama cinta, "ikatan kesempurnaan" (Kol
3:14). Tetapi kesatuan Gereja penziarah juga diamankan oleh ikatan persekutuan
yang tampak berikut ini:
- pengakuan iman yang satu dan sama, yang diwariskan oleh para Rasul;
- pengakuan iman yang satu dan sama, yang diwariskan oleh para Rasul;
-
perayaan ibadat bersama, terutama Sakramen-sakramen;
-
suksesi apostolik, yang oleh Sakramen Tahbisan menegakkan kesepakatan sebagai
saudara-
saudari dalam keluarga Allah. (KGK 815)
"Itulah
satu-satunya Gereja Kristus ... Sesudah kebangkitan-Nya, Penebus kita
menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan. Ia mempercayakannya kepada
Petrus_dan para Rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing... Gereja itu,
yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam [subsistit
in] Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam
persekutuan dengannya" (LG 8). Dekrit Konsili Vatikan II mengenai ekumene menyatakan:
"Hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yakni upaya umum untuk
keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab
kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petrus-lah
Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu
Tubuh Kristus di dunia. Dalam Tubuh itu harus disaturagakan sepenuhnya siapa
saja, yang dengan suatu cara telah termasuk Umat Allah" (UR 3). (KGK 816).
GEREJA
YANG KUDUS
Kekudusan Gereja dibicarakan
dalam Konsili Vatikan II, konstitusi Lumen Gentium pada bab V. Kekudusan Gereja
bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, mealinkan
semua mengambil bagian dalam satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus,
yang mengikutsertakan Gereja dalam gerakan-Nya kepada Bapa oleh Roh Kudus.
Pada taraf misteri ilahi Gereja
sudah suci : "Didunia ini gereja sudah ditandai oleh kesucian yang
sungguhnya, meskipun tidak sempurna" (LG 48). Ketidaksempurnaan ini
menyangkut pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya. Dalam hal kesucian pun
yang pokok bukanlah bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap dasarnya.
"Suci" sebetulnya
berarti yang dikhususkan bagi Tuhan. Jadi yang pertama-tama menyangkut seluruh
bidang sakral atau keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat, waktu, barang yang
dikhususkan bagi Tuhan, atau orang. Malahan sebenarnya harus dikatakan bahwa
"yang kudus)" adalah Tuhan sendiri. Semua yang lain, barang maupun
orang, disebut "kudus" karena termasuk lingkup kehidupan Tuhan.
Kudus pertama-tama bukanlah
termasuk kategori moral yang menyangkut kelakukan manusia, melainkan kategori
teologal (ilahi), yang menetukan hubungan dengan Allah.ini bukan berarti
kelakuan moral tidak penting. karena apa yang di khususkan bagi Tuhan, harus
"sempurna" (Im 1:3, Rm 6:19, 22).
"Gereja itu suci dan
sekaligus harus dibersihkan, serta terus menerus menjalankan pertobatan dan
pembaruan "(LG 8). Dimana kesucian Gereja adalah kesucian perjuangan,
terus menerus
GEREJA
YANG KATOLIK
Dimana ada uskup, disitu ada
jemaat, seperti dimana ada Kristus disitu ada Gereja Katolik.(ungkapan St.
Ignatius dari Anthiokia). Yang di maksud ialah dalam perayaan Ekaristi, yang
dipimpin oleh uskup, hadir bukanlah jemaat setempat tetapi seluruh Gereja.
"Gereja katolik yang satu dan tunggal berada dalam gereja-gereja setempat
dan terhimpun daripadanya (LG 23)".
Gereja selalu
"lengkap", penuh. Tidak ada Gereja setengah-setengah atau sebagian.
Geeja setempat, baik keuskupan maupun paroki bukanlah "cabang" Gereja
Universal. Setiap Gereja setempat, bahkan setiap perkumpulan orang beriman yang
sah, merupakan seluruh Gereja. Gereja tidak dapat dipotong-potong menjadi
"Gereja-Gereja bagian".
Kata "Katolik"
selanjutnya juga dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja universal
yang dilawankan dengan sekte-sekte. Dengan demikian kata "katolik"
mendapat arti yang lain :"gereja disebut Katolik, karena tersebar
diseluruh muka buni dan juga karena mengajrkan secara menyeluruh dan lengkap
segala ajaran iman tertuju kepada sesama manusia, yang mau disembuhkan secara
menyeluruh pula" (St. Sirilius dari yerusalem).
Sejak itu kata
"Katolik" tidak hanya mempunyai arti geografis, tersebar keseluruh
dunia, tetapi juga "menyeluruh", dalam arti "lengkap",
berkaitan dengan ajarannya, serta "terbuka" dalam arti tertuju kepada
siapa saja. Pada abad ke 5 masih ditambahkan bahwa gereja tidak hanya untuk
segala bangsa, tetapi juga untuk segala Zaman.
Pada zaman reformasi kata
"Katolik" muncul lagi untuk menunjuk pada Gereja yang tersebar
dimana-mana, dibedakan dengan Gereja-gereja Protestan. Sejak itu pula kata
"Katolik" secara khusus dimaksudkan umat kristen yang mengakui Paus
sebagai pemimpin Gereja Universal, tetapi dalam syahadt kata
"Katolik" masih mempunyai arti asli "universal" atau
"umum". Ternyata universal pun mempunyai dua arti, yang kuantitatif
dan kualitatif.
Dalam Konsili vatikan II tidak
lagi memusatkan Gereja sebagai kelompok manusia yang terbatas, melainkan kepada
Gereja sebagai sakramen Roh Kristus. "kekhatolikan" Gereja berarti
bahwa pengaruh dan daya pengudus Roh tidak terbatas pada para anggota Gereha
saja, mealinkan juga terarah kepada seluruh dunia. dengan sifat
"katolik" dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi keterbatasannya
sendiri akrena Roh yang berkarya di dalamnya. Oleh karena itu yang "katolik"
bukanlah hanya Gereja universal, melainkan juga setiap anggotanya sebab di
dalam jemaat hadirlah seluruh Gereja.
Gereja Kristus itu sungguh
hadir dalam semua jemaat beriman setempat yang sah, yang mematuhi para gembala
mereka, dan dalam Perjanjian Baru disebut Gereja(Lih. Kis 8:1; 14:22-23; 20:17).
Gereja-Gereja itu ditempatnya masing-masing merupakan umat baru yang dipanggil
oleh Allah, dalam Roh Kudus dan dengan sepenuh-penuhnya (lih 1Tes 1:5). Di
jemaat-jemaat itu, meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar,
hiduplah Kristus; dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus,
katolik dan apostolik(Lih. S. AGUSTINUS, Melawan faustus, 12, 20: PL 42, 265; Kotbah 57,7: PL 38, 389) (LG
26).
GEREJA
YANG APOSTOLIK
"Apostolik" atau
rasuli berarti bahwa Gereja berasal dari para rasul dantetap berpegang teguh
pada kesaksian iman mereka itu. Kesadaran bahwa Gereja "dibangun atas
dasar para rasul dan pra nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru",
sudah ada sejak zaman Gereja perdana sendiri (bdk Ef 2:20, Bdk Why 21:14),
tetapi sebagai sifat khusus keapostolikan baru disebut akhir abad ke-4. Dalam
perjanjian Baru kata "rasul" tidak hanya dipakai untuk keduabelas
rasul yang namanya disebut dalam Injil (lih Mat 10:1-4)
Hubungan historis itu tidak boleh
dilihat sebagai macam "estafet", yang didalamnya ajaran benar
bagaikan sebuah tongkat dari rasul-rasul tertentu diteruskan sampai kepada para
uskup sekarang. yang disebut "Apostolik" bukanlah para uskup,
melainkan Gereja. Sifat apostolik berarti bahwa Gereja sekarang mengaku diri
sama dengan gereja Perdana, yakni Gereja para rasul. dimana hubungan historis
ini jangan dilihat sebagai pergantian orang, melainkan sebagai kelangsungan
iman dan pengakuan.
Sifat apostolik tidak berarti
bahwa Gereja hanya mengulang-ulangi apa yang sejak dulu kala sudah diajarkan
dan dilakukan di dalam gereja, keapostolikan berarti bahwa dalam perkembangan
hidup, tergerak Roh Kudus, Gereja senantiasa berpegang pada Gereja para rasul
sebagai norma imannya. Bukan mengulangi, tetapi merumuskan dan mengungkapkan
kembali apa yang menjadi inti hidup iman. karena seluruh Gereja bersifat
apostolik, maka seluruh Gereja dan setiap anggotanya, perlu mengetahui apa yang
menjadi dasar hidupnya.
Sifat Apostolik (yang
betul-betul dihayati secara nyata) harus mencegah Gereja dari segala rutinisme
yang bersifat ikut-ikutan. Keapostolikan berarti bahwa seluruh Gereja dan
setiap anggotanya tidak hanya bertanggungjawab atas ajaran gereja, tetapi juga
atas pelayanannya. Sifa keapostolikan Gereja tidak pernah "selesai",
tetapi selalu merupakan tuntutan dan tantangan. gereja, yang oleh Kristus
dikehendaki satu, kudus, Katolik, apostoli, senantiasa harus mengembangkan dan
menemukan kembali kesatuan, kekatolikan, kaeapostolikan, dan terutama kekudusannya.
Sifat-sifat Gereja diimani, berarti harus dihayati, oleh Gereja seluruhnya dan
oleh masing-masing anggotanya.