Header

cita-cita ardas

STASI WALIKUKUN, GEREJA YANG SATU, KUDUS, KATOLIK DAN APOSTOLIK.

Tentang Paham Perkawinan

Paham Perkawinan
menurut  Kitab Hukum Kanonik 1983


oleh: Romo Antonius Dwi Joko, Pr

1. PERKEMBANGAN  PEMAHAMAN

Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Perkawinan Kristiani mengalami perkembangan yang pesat.
Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.


Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013 dikatakan bahwa tujuan pertama perkawinan adalah mendapat keturunan dan pendidikan anak; sedangkan yang kedua adalah saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami istri dilihat sebagai elemen perkawinan yang esensial. Kodeks baru (KHK 83) dalam Kan 1055, $ 1 berbicara tentang hal itu dalam arti “bonum coniugum” (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).

Hak atas tubuh suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan yang sesuai bagi kelahiran anak. Konsili Vatikan II dalamGaudium et Spes (GS) no. 48 menekankan pemberian atau penyerahan diri seutuhnya (total self donation, total giving of self). Maka, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh), melainkan suatu  kesatuan antara dua pribadi (persona).

2. PAHAM  DASAR  PERKAWINAN

Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (Kan. 1055 $ 1)

a. Perjanjian Perkawinan

Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.

b. Kebersamaan Seluruh Hidup

Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”, con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan. Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji Perkawinan).

c. Antara Pria dan Wanita

Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).

d. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Kesejahteraan Suami-Istri (Bonum Coniugum)

Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni  (a) bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak, (b) bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan (c) bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum coniugum(kebaikan, kesejahteraan suami-istri).

e. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Anak

Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum)

f. Perkawinan sebagai Sakramen

Perkawinan Kristiani bersifat sakramental. Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.

3. SIFAT-SIFAT  HAKIKI  PERKAWINAN  (Kan. 1056)

Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen.”
Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi  dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.

3.1. Monogami

a.  Arti Monogami

Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri.
b.  Implikasi atau konsekuensi Monogami

Sebaiknya dibedakan implikasi / konsekuensi moral dan hukum. Di sini perhatian lebih dipusatkan pada hukum. Dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara, sehingga poligami dan poliandri disamakan:

(1). Mengesampingkan poligami simultan: dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.

(2). Mengesampingkan poligami suksesif, artinya, berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan Kan. 1056: monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain - tetapi hal ini termasuk moral - ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.

c. Dasar  Monogami

Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada taranya pria dan wanita yang saling menyerahkan dan menerima diri dalam cintakasih total tanpa syarat dan secara eksklusif.
Dasar ini menjadi makin jelas bila dibandingkan dengan alasan dalam UU Perkawinan yang memperbolehkan poligami, yakni: bila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalam pendasaran ini istri diperlakukan menurut sifat-sifat tertentu, dan tidak menurut martabatnya sebagai pribadi manusia. Bdk. Gagasan janji perkawinan: kasih setia dalam suka-duka, untung-malang, sehat-sakit.
Tak jarang dilontarkan argumen mendukung poligami yang dianggap lebih sosial menanggapi masalah kekurangan pria, sedangkan penganut monogami tak tanggap terhadap kesulitan wanita mendapatkan jodoh.

3.2. Sifat tak-terputuskannya Ikatan Perkawinan

a. Arti

Ikatan perkawinan berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini.

b. Implikasi

Memang kesesatan saja tentang sifat-sifat hakiki perkawinan tidak otomatis membuat perkawinan menjadi tidak sah, tetapi sifat-sifat hakiki ini juga menjadi obyek konsensus perkawinan (Kan. 1099).

Barangsiapa menjanjikan kesetiaan  tetapi tidak menghendaki perkawinan seumur hidup melakukan simulasi parsial yang membuat perkawinan itu menjadi tidak sah.

Barangsiapa bercerai, tidak memenuhi janjinya untuk menikah seumur hidup, dan bila ia menikah lagi, maka perkawinan itu tidak sah, karena masih terikat pada perkawinan sebelumnya.

Itulah salah satu kesulitan umat Katolik di Indonesia, di mana 60 % perkawinan setiap tahun diceraikan.

c. Dasar

http://yesaya.indocell.net/Symb075c00b700f000000000.gifDalam Kitab Suci : misalnya Mrk 10:2-12; Mat 5: 31-32; 19:2-12; Luk 16:18
http://yesaya.indocell.net/Symb075c00b700f000000000.gifAjaran Gereja : Konsili Trente (DS 1807); Konsili Vatikan II (GS 48), Familiaris Consortio 20; Katekismus Gereja Katolik 1644-1645
http://yesaya.indocell.net/Symb075c00b700f000000000.gifPenalaran akal sehat memang dapat mengajukan aneka argumen untuk mendukung sifat tak terputusnya perkawinan, misalnya martabat pribadi manusia yang patut dicintai tanpa reserve, kesejahteraan suami istri, terutama istri dan anak-anak, terutama yang masih kecil. Tetapi argumen-argumen ini tak dapat membuktikan secara mutlak, artinya tanpa kekecualian.

d. Tingkat kekukuhan

Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami istri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis, perkawinan itu memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen. Meski demikian, hukum masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri.

(1) Perkawinan putativum (putatif): perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Kan 1061, $ 1). Secara hukum perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian sama sekali.

(2) Perkawinan legitimum antara dua orang non-baptis. Perkawinan ini sah, tapi tak sakramental, yang sekaligus mempunyai sifat kekukuhan, namun bisa diceraikan dengan Previlegium Paulinum *karena suatu alasan yang berat.

(3) Perkawinan legitimum antar seorang baptis dan seorang non-baptis. Perkawinan ini pun sah, tapi tak sakramental karena salah satu pasangan belum atau tidak dibaptis. Perkawinan inipun dapat dibubarkan karena suatu alasan yang berat dengan Previlegium Petrinum (Previlegi Iman)**, walaupun telah memperoleh ciri kekukuhan dalam dirinya.

(4) Perkawinan ratum (et non consumatum): perkawinan sah dan sakramental, tapi belum disempurnakan dengan persetubuhan (Kan 1061, $1). Tingkat kekukuhan perkawinan ini sudah masuk kategori khusus atas dasar sakramen, namun karena suatu alasan yang sangat berat, masih dapat diputus oleh Paus.

(5) Perkawinan ratum et consumatum: perkawinan sah, sakramental, dan telah disempurnakan dengan persetubuhan. Perkawinan ini pun mempunyai kekukuhan khusus atas dasar sakramen, tapi lebih dari itu bersifat sama sekali tak terceraikan, krn sudah disempurnakan dengan persetubuhan.  

4. KONSENSUS  PERKAWINAN  (Kan 1057)

Konsensus atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana suami istri saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Itu berarti hanya konsensus yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada (matrimonium in fieri, terjadinya perkawinan pada saat mempelai menyatakan konsensus)

Pada saat mempelai saling memberikan konsensus dalam perjanjian perkawinan, saat itu dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga yang akan berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse, hidup berkeluarga).

Para pihak harus cakap hukum atau mempu menurut hukum untuk membuat konsensus perkawinan (Kan 1057 $ 1), artinya mereka tidak terkena suatu cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan (Kan 1095).

Konsensus harus dinyatakan secara legitim, artinya harus dinyatakan oleh kedua pihak satu terhadap yang lain, menurut norma hukum yang berlaku, misalnya dengan keharusan mentaati forma canonica atau suatu bentuk tata peneguhan publik lainnya yang diakui.  

Konsensus tak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun; artinya tak ada kuasa apapun atau siapapun yang dapat dengan sewenang-wenang dan melawan hukum membuat konsensus bagi orang lain.

5. WEWENANG GEREJA ATAS PERKAWINAN ORANG-ORANG KATOLIK

Kanon 11 menyatakan bahwa orang yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalammya terikat oleh undang-undang yang bersifat semata-mata gerejawi. Itu berarti mereka yang bukan Katolik, entah dibaptis atau tidak, tidak terikat oleh undang-undang tersebut.

Namun, dalam hal perkawinan, ada semacam perkecualian. Kanon 1059 mengatakan: “Perkawinan orang-orang Katolik, meskipun hanya satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap berlaku kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.”  

Dengan demikian jelas bahwa dalam hal perkawinan campur, pihak non-Katolik secara tak langsung terikat oleh undang undang gerejawi (karena harus mengikuti pasangannya yang Katolik dan yang secara langsung terikat oleh undang-undang gerejawi).

Akibat-akibat perkawinan yang semata-mata sifatnya sipil berada di luar kewenangan Gereja. Misalnya, Gereja tidak bisa mengatur bagaimana harus mengurus harta warisan, harta bawaan, harta bersama, kewarganegaraan, perubahan nama istri dengan mengikuti nama suami, dsb.

6. SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERKAWINAN KATOLIK

6.1. Bebas dari Halangan-halangan Kanonik

Ada sekitar  12 halangan kanonik yang dibicarakan secara spesifik dalam KHK 1983, yakni:

(1) Belum Mencapai Umur Kanonik (Kan. 1083)
Kanon 1083 $ 1 menetapkan bahwa pria sebelum berumur genap 16 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, tidak dapat menikah dengan sah. Ketentuan batas minimal ini perlu dimengerti bersama dengan ketentuan mengenai kematangan intelektual dan psikoseksual (Kan 1095).  UU Perkawinan RI menetapkan usia minimal 19 tahun untk pria dan 17 tahun untuk wanita.

(2) Impotensi (Kan. 1084)
Ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri disebut impotensi. Impotensi bisa mengenai pria atau wanita. Menurut Kan. 1084 $ 1 impotensi merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak ataupun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didespansasi.

(3) Ligamen / Ikatan Perkawinan Terdahulu (Kan. 1085)
Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri timbal balik, utuh dan lestari antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan (unitas) dan sifat monogam perkawinan ini adalah salah satu sifat hakiki perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami atau poliandri, baik simultan maupun suksesif. Sifat monogam perkawinan adalah tuntutan yang bersumber dari hukum ilahi kodrat, yang tak bisa didispensasi. Kan 1085 $ 1  memberikan prinsip hukum kodrat demi sahnya perkawinan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan.”

(4) Perkawinan Beda Agama / disparitas cultus (Kan. 1086)
Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.

(5) Tahbisan Suci (Kan. 1087)
Melalui tahbisan suci beberapa orang beriman memperoleh status kanonik yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam gereja. Kan 1087 menetapkan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci”.

(6) Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (Kan. 1088)
Seperti tahbisan suci, demikian pula hidup religius tidak bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang religius terikat kaul kemurnian (bdk. Kan. 573 $ 2; 598 $ 1)

(7) Penculikan (Kan. 1089)
Halangan penculikan atau penahanan ditetapkan untuk menjamin kebebasan pihak wanita, yang memiliki hak untuk menikah tanpa paksaan apapun. Kemauan bebas adalah syarat mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.      

(8) Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090)
Ini disebut halangan kriminal conjungicide.

(9) Konsanguinitas /  Hubungan Darah (Kan. 1091)
Gereja menetapkan halangan hubungan darah untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest. Hubungan ini dilarang. Hubungan ini juga berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan.
Kan 1091 $ 1 menegaskan: “Tidak sahlah perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik legitim maupun alami”. Kan. 1091 $ 2 menegaskan bahwa dalam garis keturunan menyamping perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat ke-4  inklusif.

(10) Hubungan Semenda / affinitas (Kan. 1092)  
Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling mendekatkan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antar anggota dari dua keluarga itu. Jadi, hubungan semenda muncul sebagai akibat dari suatu faktor ekstern (= ikatan perkawinan), bukan faktor intern (= ikatan darah).
Kan. 1092 menetapkan: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun”. Secara konkret, terhalang untuk saling menikah: a). antara menantu dan mertua [garis lurus ke atas tingkat 1], b). antara ibu dan anak tiri laki-laki, demikian juga sebaliknya antara bapak dan anak tiri perempuan.

(11) Kelayakan Publik (Kan. 1093)
Kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah, termasuk hubungan kumpul kebo (konkubinat) yang diketahui umum. Menurut Kan. 1093 halangan nikah yang timbul dari kelayakan publik dibatasi pada garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita. Begitu juga sebaliknya.

(12) Hubungan Adopsi (Kan. 1094)
Anak yang diadopsi lewat adopsi legal memiliki status yuridis yang analog dengan status yuridis anak kandung. Kanon 1094 menyatakan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.”

6.2. Adanya Konsensus atau Kesepakatan Nikah

a. Pengertian Konsensus

Konsensus (Kan 1057, $ 2) adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.

b. Faktor Penyebab Tak Adanya Konsensus

Konsensus bisa cacat atau tidak ada sama sekali oleh faktor-faktor berikut:

(1) Ketidakmampuan psikologis (Kan. 1095)
(2) Tak ada pengetahuan yang cukup mengenai hakekat perkawinan (Kan. 1096)
(3) Kekeliruan mengenai pribadi (Kan. 1097)
(4) Penipuan (Kan. 1098)
(5) Kekeliruan mengenai sifat perkawinan dan martabat sakramental  perkawinan  (Kan. 1099)
(6) Simulasi (Kan. 1101): simulasi total; simulasi parsial (bonum prolis, bonum fidei, bonum sakramenti, bonum coniugum)
(7) Konsensus bersyarat (Kan. 1102)
(8) Paksaan dan ketakutan (Kan. 1103)

6.3. Dirayakan dalam “forma canonika” (Kan. 1108-1123)

Forma canonica” atau tata peneguhan ialah bahwa suatu perkawinan harus dirayakan dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi Gereja sebagai peneguh, dan dua orang saksi.

7. PERKAWINAN  CAMPUR  (Kan  1124-1129; 1086)

7.1. Pengertian

Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.

Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secar sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.

7.2. Dua Jenis Perkawinan Campur

Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin.

Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.

7.3. Persyaratan Mendapatkan Ijin atau Dispensasi

Pihak Katolik diwajibkan membuat janji yang berisi dua hal:

(1) Pihak Katolik berjanji untuk setia dalam iman Katoliknya.
(2) Pihak Katolik berjanji akan berusaha dengan serius untuk mendidik dan membaptis anak-anak yang akan lahir dalam Gereja Katolik. Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.

7.4. Soal Larangan Nikah Ganda (Kan. 1127 $ 3)

Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.

Kesan yang sering timbul dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya sendiri, mengapa tidak “fifty-fifty”: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja Katolik, maupun menurut agama yang lain. Tetapi justru ini dilarang Kan. 1127 $ 3 yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.

1. Dalam Pernikahan Beda Gereja
Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pelayan Katolik dan pendeta, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterima oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pelayan Katolik dan pendeta, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan Katolik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.

2. Dalam Pernikahan Beda Agama
Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.

7.5. Pastoral Kawin Campur

Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerapkali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.

Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya.

Mengingat makna perkawinan dan keluarga, dibandingkan dengan upaya dan program pembinaan, apa yang diusahakan untuk mereka yang hidup berkeluarga masih amat kecil.

7.6. Kesulitan Pencatatan Sipil

Berlakunya UU perkawinan 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendaptkan pengesahan sipil. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil, apapun caranya.

7.7. Beberapa Catatan dan Harapan

Hal yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De fakto dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan tidaklah berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa yakin akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan.


* Previlegi Paulinum (Kan. 1143-1147; 1150). Untuk memutuskan ikatan perkawinan dengan memakai Previlegi Paulinum demi iman pihak yang dibaptis, prinsip dasarnya ialah:
a). Pada awalnya perkawinan itu dilangsungkan oleh dua orang yang tidak dibaptis;
b). Kemudian salah satu pihak dibaptis;
c). pihak non-baptis tidak lagi ingin hidup bersama atau pergi;
d). demi sahnya perkawinan baru dari pihak baptis, maka pihak non-baptis itu diinterpelasi tentang apakah ia juga mau dibaptis, apakah ia masih mau hidup bersama dengan pihak yang dibaptis secara damai. Jika dirasa interpelasi tidak berguna, maka ordinaries wilayah dapat memberi dispensasi.

** Tidak termuat dalam KHK tapi dalam “Instruksi Ut Notum Est” untuk Pemutusan Perkawinan demi Iman. Previlegi Iman ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “bahwa perkawinan yang diteguhkan antara pihak baptis non-Katolik dengan pihak non-baptis, atau antara pihak Katolik dengan pihak non-baptis yang diteguhkan dengan dispensasi dari halangan perkawinan beda agama (disparitas cultus), dapat diputus oleh tahta suci karena alasan yang kuat terutama demi iman”.

Sumber : yesaya@indocell.net