Apakah Sinterklas Sungguh Ada?
oleh: P. William P. Saunders *
Apakah Sinterklas sungguh ada?
~ seorang siswa kelas tiga di Arlington
Ya, Sinterklas sungguh ada. Tetapi, kita lebih mengenalnya
sebagai St Nikolaus. Sayangnya, kita hanya mempunyai sedikit saja bukti
sejarah mengenai santo yang populer ini. Menurut tradisi, St Nikolaus
dilahirkan di Patara di Lycia, sebuah propinsi di Asia Kecil, dalam sebuah
keluarga Kristiani yang kaya raya; ia beruntung mendapatkan pendidikan
Kristiani yang kuat. Sebagian mengatakan bahwa pada usia lima tahun ia mulai
belajar ajaran-ajaran Gereja. Ia senantiasa berusaha mengamalkan kebajikan dan
belas kasihan.
Kedua orangtua St Nikolaus meninggal dunia ketika ia masih muda dan
meninggalkan harta warisan yang besar, yang dipergunakannya untuk melakukan
banyak perbuatan baik. Suatu kisahnya yang terkenal bercerita mengenai seorang
duda yang mempunyai tiga anak gadis. Sang ayah hendak menjual anak-anak
perempuannya itu ke pelacuran sebab ia tak mampu menyediakan mas kawin yang
dibutuhkan bagi perkawinan mereka. St Nikolaus mendengar nasib buruk yang
menimpa ketiga anak gadis ini dan memutuskan untuk menolong. Dalam kegelapan
malam, ia pergi ke rumah mereka dan melemparkan sekantong emas melalui sebuah
jendela yang terbuka di rumah sang duda, dengan demikian menyediakan uang yang
diperlukan untuk mas kawin yang layak bagi anak gadis tertua. Berturut-turut
dua malam berikutnya, St Nikolaus melakukan hal yang sama; kemurahan hatinya
menyelamatkan ketiga gadis tersebut dari nasib malang.
Reputasi St Nikolaus sebagai seorang yang kudus tersebar luas. Ketika
Bapa Uskup wafat, St Nikolaus dipilih untuk menggantikannya sebagai Uskup Myra.
Beberapa catatan sependapat bahwa St Nikolaus menderita dipenjarakan dan
dianiaya demi iman dalam masa penganiayaan Kaisar Diocletian sekitar tahun 300.
Beberapa sumber menegaskan bahwa setelah disahkannya kekristenan, ia hadir
dalam Konsili Nicea (tahun 325) dan ikut serta dalam mengutuk bidaah Arianisme
yang menyangkal keallahan Kristus. Kisah selanjutnya menceritakan bagaimana St
Nikolaus ikut campur tangan demi membebaskan tiga orang tak bersalah yang
dijatuhi hukuman mati oleh seorang gubernur yang korup bernama Eustathius, yang
ditentang oleh St Nikolaus dan digerakkan pada pertobatan. St Nikolaus wafat
pada abad keempat antara tahun 345 dan 352 pada tanggal 6 Desember, dan
dimakamkan di katedralnya.
St Nikolaus telah senantiasa dihormati sebagai seorang santo besar. Pada
abad keenam, Kaisar Yustinian I mendirikan sebuah gereja demi menghormati St
Nikolaus di Konstantinopel, dan St Yohanes Krisostomus memasukkan
namanya dalam liturgi. Pada abad kesepuluh, seorang penulis anonim Yunani
menulis, “Baik Barat maupun Timur memuji dan memuliakan dia. Di manapun orang
berada, di desa dan di kota, di dusun dan di pulau-pulau, di belahan-belahan
bumi yang paling jauh sekalipun, namanya dihormati dan gereja-gereja didirikan
demi menghormatinya. Segenap umat Kristiani, tua dan muda, laki-laki dan
perempuan, pula anak-anak, menghormati kenangan akan dia dan berseru mohon
perlindungannya.”
Setelah Seljuk Moslem yang fanatik menyerbu Asia Kecil dan dengan keji
menganiaya kekristenan, tubuh St Nikolaus diselamatkan oleh para saudagar
Italia dari pencemaran pada tahun 1087 dan dimakamkan kembali di sebuah gereja
baru di Bari, Italia. Paus Urbanus II, seorang pembela iman yang gigih dan
seorang penganjur perang salib, memberkati makam baru tersebut dengan upacara
meriah. Sejak saat itu, devosi kepada St Nikolaus meningkat di seluruh wilayah
Barat. Sebagai misal, lebih dari 400 gereja di Inggris didedikasikan kepadanya.
Beberapa waktu lamanya dalam Abad Pertengahan, makamnya menjadi tempat ziarah
yang paling banyak dikunjungi para peziarah dari seluruh Eropa. Yang menarik,
karena aroma dupa yang tercium di sekitar makamnya, segera saja ia dikenal
sebagai santo pelindung dari para pengusaha wangi-wangian.
Menurut tradisi, St Nikolaus dihubungkan dengan pemberian hadiah-hadiah
pada masa Natal, karena kisahnya mengenai duda dengan tiga anak gadisnya itu.
Di Belanda, di mana tampaknya kebiasaan ini berasal, St Nikolaus (atau Sint
Klaas atau Santa Claus) akan datang pada malam menjelang pestanya (6 Desember)
dengan membawa berbagai macam hadiah untuk anak-anak yang manis; seringkali
dengan mengisikannya pada sepatu-sepatu kayu mereka. Banyak hiasan-hiasan Natal
dari Belanda maupun Jerman menggambarkan St Nikolaus mengenakan pakaian uskup
dengan mitra dan tongkat uskup di tangannya, dengan disertai seorang malaikat
penolong yang membawa daftar nama anak-anak yang baik.
Devosi kepada St Nikolaus diselewengkan oleh kaum Protestan Belanda, yang
ingin menghapus “ke-Katolik-an” St Nikolaus. Mereka menanggalkan tanda wewenang
uskupnya, dan menjadikannya lebih menyerupai seorang Bapa Natal dari Eropa
berbaju merah. Mereka juga mengaitkannya dengan beberapa legenda seputar dewa
Thor yang mengendarai sebuah kereta dan yang datang mengunjungi rumah melalui
cerobong asap.
Pada abad ke-19, para penulis Amerika juga berperan serta dalam
menghapuskan gambaran St Nikolaus sebagai seorang uskup. Pada tahun 1820,
Washington Irving menulis sebuah kisah mengenai Santa Claus yang terbang dalam
sebuah kereta untuk membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak. Tiga tahun
kemudian, Clement Moore menulis Sebuah Kunjungan dari St Nikolaus (yang lebih
dikenal sebagai Malam Sebelum Natal, menggambarkan Santa Claus sebagai seorang
“kurcaci tua jenaka” dengan perut gendut bagai tong, pipi merah bagai mawar,
dan hidung bagai buah ceri. Pada tahun 1882, Thomas Nast melukis gambar Santa
Claus berdasarkan gambaran yang diberikan Moore dan bahkan menambahkan North
Pole sebagai tempat kediamannya. Dan akhirnya, Haddom Sundblom, seorang seniman
iklan dari Coca-Cola mengubah sosok Santa Claus menjadi seorang tokoh
berpakaian merah, berbadan besar, dan bahkan gemar minum cola, seperti yang
dengan mudah kita bayangkan dalam pikiran kita sekarang ini.
Jadi, apakah Sinterklas atau Santa Claus sungguh ada? Saya ingat suatu
ketika saya membaca tanggapan editor The New York Sun pada tahun 1897 atas
pertanyaan yang sama yang diajukan seorang anak perempuan berumur 8 tahun
bernama Virginia. Sebagian dari jawaban tersebut, yang masih relevan hingga
kini, adalah, “Ya, Virginia, Santa Claus sungguh ada. Ia ada, senyata cinta
kasih dan kemurahan hati dan devosi ada, dan kau tahu bahwa semuanya itu ada
dengan berlimpah-limpah dan mengisi hidupmu dengan kebahagiaan dan sukacita
yang paling luar biasa. Sungguh malang! Betapa suramnya dunia ini andai tidak
ada Santa Claus! Pastilah akan sesuram andai tidak ada Virginia-Virginia.
Sebab, jika demikian tidak akan ada iman yang kekanak-kanakan, tidak akan ada
gubahan sajak, tidak akan ada romantisme yang membuat hidup ini tertahankan.
Kita tidak akan menikmati kegembiraan, kecuali dalam apa yang dipikir dan
dilihat. Cahaya abadi dengan mana masa kanak-kanak mengisi dunia akan lenyap.
... Tak seorang pun pernah melihat Santa Claus, tetapi itu bukan berarti bahwa
Santa Claus tidak ada. Hal-hal yang paling nyata di dunia adalah hal-hal yang
tak dapat dilihat baik oleh anak-anak maupun orang-orang dewasa. ... Terima
kasih Tuhan! Santa Claus ada, dan ia akan ada untuk selama-lamanya.”
Bagi saya, pernyataan di atas merupakan suatu kesaksian yang cukup bagus
mengenai St Nikolaus dan sukacita yang ia datangkan ke dalam perayaan Natal kita.
Kiranya St Nikolaus mengilhami kita dengan doa-doanya dan teladan hidupnya agar
kita dapat merayakan Natal dengan penuh iman.
“diterjemahkan oleh YESAYA:
www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”