Asal-mula Masa
Prapaskah
oleh: P. William P. Saunders *.
Bagaimanakah asal-mula Masa Prapaskah? Apakah Gereja selalu merayakannya
sebelum Paskah?
~ seorang pembaca di Falls Church
Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk
berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai
persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui
praktek-praktek liturgi Gereja, Konstitusi tentang Liturgi Kudus Konsili
Vatikan II menyatakan, “Dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau
mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang
lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan
sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah,
sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan
lebih banyak waktu untuk berdoa.” (no. 109).
Sejak masa awal Gereja, terdapat bukti akan
adanya semacam masa persiapan menyambut Paskah. Sebagai contoh, St. Ireneus
(wafat 203) menulis kepada Paus St. Victor I, perihal perayaan Paskah dan
perbedaan-perbedaan dalam perayaannya antara Timur dan Barat, “Perbedaan tidak
hanya sebatas hari, tetapi juga ciri puasa yang sesungguhnya. Sebagian
berpendapat bahwa mereka wajib berpuasa selama satu hari, sebagian berpuasa
selama dua hari, lainnya lebih lama lagi; sebagian menetapkan 'masa' mereka
selama 40 jam. Berbagai perbedaan dalam perayaan tersebut bukan berasal dari
masa kita, melainkan jauh sebelumnya, yaitu sejak masa para leluhur kita.”
(Eusebius, Sejarah Gereja, V, 24). Ketika Rufinus menerjemahkan bagian berikut
ini dari bahasa Yunani ke bahasa Latin, tanda baca yang dibubuhkan antara “40”
dan “jam” menjadikan maknanya tampak seperti “40 hari, dua puluh empat jam
sehari.” Namun demikian, maksud pernyataan di atas adalah bahwa sejak masa
“para leluhur kita” - sebutan bagi para rasul - suatu masa persiapan selama 40
hari telah ada. Tetapi, praktek nyata dan lamanya Masa Prapaskah masih belum
seragam di seluruh Gereja.
Masa Prapaskah diatur secara lebih mantap setelah
legalisasi agama Kristen pada tahun 313. Konsili Nicea (tahun 325), dalam hukum
kanonnya, mencatat bahwa dua sinode provincial haruslah diselenggarakan setiap
tahun, “satu sebelum Masa Prapaskah selama 40 hari.” St. Atanasius (wafat
373) dalam “Surat-surat Festal” meminta umatnya melakukan puasa selama 40 hari
sebelum puasa yang lebih khusuk selama Pekan Suci. St. Sirilus dari
Yerusalem (wafat 386) dalam Pelajaran Katekese, mengajukan 18 instruksi
sebelum pembaptisan yang diberikan kepada para katekumen selama Masa Prapaskah.
St. Sirilus dari Alexandria (wafat 444) dalam serial “Surat-surat Festal” juga
mencatat praktek dan lamanya Masa Prapaskah dengan menekankan masa puasa selama
40 hari. Dan akhirnya, Paus St. Leo (wafat 461) menyampaikan
khotbahnya bahwa umat beriman wajib “melaksanakan puasa mereka sesuai tradisi
Apostolik selama 40 hari”. Orang dapat menyimpulkan bahwa pada akhir abad
keempat, masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah yang disebut sebagai
Masa Prapaskah telah ada, dan bahwa doa dan puasa merupakan latihan-latihan
rohaninya yang utama.
Tentu saja, angka “40” selalu mempunyai makna
spiritual khusus sehubungan dengan persiapan. Di gunung Sinai, sebagai
persiapan untuk menerima Sepuluh Perintah Allah, “Musa ada di sana
bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak
makan roti dan tidak minum air” (Kel 34:28). Elia berjalan selama “40 hari
dan 40 malam” ke gunung Allah, yakni gunung Horeb (nama lain Sinai) (1 Raj
19:8). Dan yang terutama, Yesus berpuasa dan berdoa selama “40 hari dan 40
malam” di padang gurun sebelum Ia memulai pewartaan-Nya di hadapan orang banyak
(Mat 4:2).
Begitu Masa Prapaskah selama 40 hari ditetapkan,
perkembangan berikutnya adalah menyangkut berapa banyak puasa yang harus
dilakukan. Di Yerusalem, misalnya, orang berpuasa selama 40 hari, mulai hari
Senin hingga hari Jumat, tetapi tidak pada hari Sabtu dan hari Minggu, dengan
demikian Masa Prapaskah berlangsung selama delapan minggu. Di Roma dan di
Barat, orang berpuasa selama enam minggu, mulai hari Senin hingga hari Sabtu,
dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama enam minggu. Akhirnya,
diberlakukan praktek puasa selama enam hari dalam satu minggu, selama masa enam
minggu, dan Rabu Abu ditetapkan untuk menggenapkan hari-hari puasa sebelum
Paskah menjadi 40 hari. Peraturan-peraturan puasa bervariasi pula.
Pertama, sebagian wilayah Gereja berpantang dari
segala bentuk daging dan produk hewani, sementara yang lain berpantang makanan
tertentu seperti ikan. Sebagai contoh, Paus St. Gregorius (wafat
604), menulis kepada St. Agustinus dari Canterbury, perihal peraturan berikut:
“Kami berpantang lemak, daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan
seperti susu, keju dan telur.”
Kedua, peraturan umum adalah orang makan satu
kali dalam satu hari, yaitu pada sore hari atau pada pukul 3 petang.
Peraturan-peraturan puasa Masa Prapaskah juga
mengalami perkembangan. Pada akhirnya, makan sedikit pada waktu siang
diperbolehkan guna menjaga daya tahan tubuh selama melakukan pekerjaan
sehari-hari. Makan ikan diperbolehkan, dan akhirnya makan daging juga
diperbolehkan sepanjang minggu kecuali pada hari Rabu Abu dan setiap hari
Jumat. Dispensasi diberikan untuk mengkonsumsi produk-produk hewani jika orang
melakukan kerja berat, dan akhirnya peraturan ini pun sepenuhnya dihapuskan.
Selama bertahun-tahun perubahan-perubahan terus
dilakukan dalam merayakan Masa Prapaskah, menjadikan praktek kita sekarang
tidak saja sederhana, tetapi juga ringan. Rabu Abu masih menandai dimulainya
Masa Papaskah, yang berlangsung selama 40 hari, tidak termasuk hari Minggu.
Peraturan-peraturan pantang dan puasa yang berlaku sekarang amatlah sederhana:
Pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, umat beriman berpuasa (makan kenyang hanya
satu kali dalam sehari, ditambah makan sedikit untuk menjaga daya tahan tubuh)
dan berpantang setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah. Umat masih dianjurkan
untuk “merelakan sesuatu” sesuatu selama Masa Prapaskah sebagai mati raga.
(Catatan menarik adalah bahwa pada hari Minggu dan hari-hari raya, seperti Hari
Raya St. Yusuf (19 Maret) dan Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), orang bebas
dan diperbolehkan makan / melakukan apa yang telah dikorbankan sebagai mati
raga selama Masa Prapaskah).
Namun demikian, senantiasa diajarkan kepada saya,
“Jika kamu berpantang sesuatu demi Tuhan, teguhkan hatimu. Janganlah berlaku
seperti orang Farisi yang suka mencari-cari kesempatan.” Lagipula, penekanan
haruslah dititikberatkan pada melakukan kegiatan-kegiatan rohani, seperti ikut serta
dalam Jalan Salib, ambil bagian dalam Misa, adorasi di hadapan Sakramen
Mahakudus, meluangkan waktu untuk berdoa secara prbadi, membaca bacaan-bacaan
rohani, dan yang terutama menerima Sakramen Tobat dengan baik dan memperoleh
absolusi. Meskipun praktek perayaan dapat berubah dan berkembang dari jaman ke
jaman, namun fokus Masa Prapaskah tetap sama: yaitu menyesali dosa,
memperbaharui iman, serta mempersiapkan diri menyambut perayaan sukacita
misteri keselamatan kita.
“diterjemahkan oleh YESAYA:
www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
- APA ITU RABU ABU ? ~ Klik disini
- PASIO YESUS KRISTUS ~ Klik disini